-----------
Tetes air hujan begitu jelas
terdengar dari atas genteng rumahku, tak ada lagi suara terdengar pada malam
itu selain suara TV dan suara tetesan air hujan dari luar sana. Aku mematung di
atas kasur seakan memaksa mataku untuk tertutup, tapi usahaku itu sia-sia, aku
tak bisa tidur, aku sangat gelisah.
Malam ini, hujan dengan derasnya membasahi bumi, aku baru saja terbuai
dalam masalah dan keadaan yang sedang ku alami. Aku memeluk tubuhku sekuat hati. Butir-butiran
manik menetes laju di atas pipi saat memikirkan fitnah dari teman-teman sosial
mediaku atas postingan-postinganku yang sangat sok bijak. Ujian apakah ini?
Ujian apakah ini? Aku menangis sepuas hati.
Kata-kata yang amat menyingung
perasaanku, malah tanggapan teman-teman yang dulu pernah mengenalku semakin
menebal dalam telinga ku.
“Dia pikir, dia siapa? Lulusan
pesantren, sok pintar, sok paling benar. Siapa dia dahulu, bukankah lebih buruk
dari kita. Coba lihat masa lalunya, apakah dia tidak pernah pacaran, auratnya
pun terumbar kemana-mana. Lihat dia yang sok ingin menjadi ustadzah, tidak mau
pacaran.
Sindiran
itu menyusuk bak duri sembilu ke dalam hatiku. Sore itu aku menatap
tajam pesan di ponselku. Hatiku teriris sakit membaca kata-kata itu, kata itu
tertulis jelas untukku. Yang lebih menyakitkan lagi kata itu tertulis dari sahabatku sendiri.
Tersadar dari ingatan-ingatan yang menyelimuti
fikiranku. Membalikkan membalikan
tubuhku, dan pandanganku tertuju pada langit-langit rumahku. Aku berfikir kejadian-kejadian yang aku alami
saat ini adalah ujian ALLAH SWT. Walaupun sampai saat ini aku belum mendapatkan
pekerjaan, tapi aku tetap mempertahankan jilbabku. Semakin aku ditawarkan
pekerjaan namun aku dituntut melepas jilbabku semakin aku akan mempertahankan
jilbabku itu. Cobaan ini membuat aku lebih tenang menghadapi semuanya, karna
aku yakin janji ALLAH SWT itu pasti akan datang, bukan sekarang tapi nanti.
Perlahan aku memejamkan matanya, tapi sebelumnya aku berdo’a dulu.
“Ya ALLAH hanya ENGKAU yang mengetahui masa
depan Hamba-MU ini, hanya ENGKAU yang mengetahui apa yang akan terjadi suatu
saat nanti pada Hamba-MU ini. Jika suatu saat nanti aku melepas mahkota ini,
tolong lebih baik ENGKAU mengambil nyawaku sebelum aku membuka mahkota. Saya
takut meninggal dalam keadaan tidak beriman, aku takut, aku meninggal pada saat
ENGKAU murka kepadaku. Aku takut Ya ALLAH.”.
“Ya ALLAH, aku tau jilbab ku ini belum sesempurna dengan jilbab wanita muslimah yang lain, jilbabku ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Tapi ENGKAU Maha tau hati Hamba-MU ini.Ya ALLAH istiqomahkanlah hatiku selalu pada-MU, ENGKAU Maha membolak- balikkan hati manusia.”
“Ya ALLAH, aku tau jilbab ku ini belum sesempurna dengan jilbab wanita muslimah yang lain, jilbabku ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Tapi ENGKAU Maha tau hati Hamba-MU ini.Ya ALLAH istiqomahkanlah hatiku selalu pada-MU, ENGKAU Maha membolak- balikkan hati manusia.”
Aku tetap bertahan dengan keyakinan ku untuk berhijrah
meski jalan yang harus ku lalu penuh dengan batu terjal. Ibarat pendakian,
pendakian mana yang mudah? Pendakian pasti sulit. Berawal dari hijab syar’i
sebagai bukti rasa keseriusanku untuk berubah menjadi lebih baik, lebih baik,
dan lebih baik lagi.
Meski tak jarang yang berkomentar
menyakitkan. Ada pula yang memberi pujian atas perubahanku. Berhijab syar'i tak lantas membuat ku seperti
malaikat, justru baru awal menuju ta'at. Segala sesuatu di dunia ini butuh
proses. Ingin menjadi pintar, butuh proses. Ingin kaya, perlu proses. Pun
dengan menjadi baik, butuh proses. Banyak orang yang tak berhijab, bila ditanya
‘kapan akan berhijab?’, biasanya menjawab, ‘nunggu hidayah’. Padahal hidayah
itu tak datang dengan sendirinya. Hidayah tak lalu tiba-tiba muncul dalam satu
malam atau satu hari tanpa sebab. Hidayah perlu dijemput. Hidayah perlu
dirangsang. Hidayahpun perlu proses.
Hidayah berhijab
syar’i yang ku alami tidak terjadi dalam
waktu semalam, sehari, seminggu, atau sebulan. It takes three years. Saya perlu
‘menceburkan’ diri saya terlebih dahulu dalam dunia hijab, belajar untuk
merasakan, memahami, kemudian mendapatkan hal yang sebenarnya itu—hidayah.
Untuk mendapatkan view terumbu karang yang indah kita perlu ‘menceburkan’ diri
ke laut, bukan? Sama dengan hidayah berhijab, kita juga perlu ‘menceburkan’
diri ke dalam dunia hijab, berani mencoba berhijab.
Hijrah
adalah perpindahan dari suatu kondisi, ke kondisi lain yang lebih baik. Dari
terang ke gelap. Dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham,
dari ragu-ragu menjadi yakin. Ada hadits "Barang siapa lebih baik dari
hari kemarin dia adalah orang beruntung, jika sama dengan hari kemarin dia
orang merugi, jika lebih buruk dia orang celaka". Maka kita tak punya
pilihan selain menjadi lebih baik dari hari ke hari. Maka hijrah itu tidak
berbatas. Bahkan dalam kondisi kita sudah merasa baik pun, hijrah adalah
keputusan terbaik untuk kita lakukan setiap harinya.
No comments:
Post a Comment