..............................
Collaboration of young writers
Rasanya berat Ghea menghembuskan nafas ini.
Berat di dada terasa menyesakkan. Sekelebat bayang, kembali mengusik kedamaian
hati. Anan? Kenapa bayangmu selalu menghantui? Setelah setahun lamanya Ghea
mengubur kenangan menyakitkan itu. Kenangan dimana saat itu kita masih saling
memendam perasaan. Dan sekarang luka itu
kembali terkuak.
Terdiam sejenak dalam renungan. Kala bayang
wajahnya datang menyapa. Waktupun berputar kebelakang. Sebut saja, segala sesuatu yang tertinggal itu bernama kenangan. Ghea
akan menoleh ke belakang sesaat dan menemukannya masih di tempat yang sama.
Ingatan yang begitu jelas, surat
permintaan maaf darinya yang ia genggam
saat ini. Ia temukan dalam selipan buku deary miliknya.
Disaat Anan mengungkapkan perasaannya pada Ghea namun
Anan harus pergi meninggalkan Ghea. Ia ingin saat itu juga mereka melangkah
dalam bahtera penikahan. Namun waktu berkata lain, Anan harus melanjutkan
beasiswa sebagai Master research di bidang clinical laboratory investigation di
Jepang. Ghea tahu itu cita-cita terbesar Anan, mana mungkin ia bisa
mencegahnya, dengan rela ia ikhlaskan kepergiannya. Baiklah Ghea berjanji pada
dirinya bahwa ia disini akan menantinya hingga Anan kembali, ia pastikan akan masih
tetap sendiri disini. Tidak perlu ada ikatan apa-apa diantara mereka. Mereka
hanya perlu mencintai untuk mengikhlaskan.
Sepucuk surat cinta dan pemintaan maaf
mengingatkan Ghea pada satu tahun silam,
pertama kalinya Anan mengungkapkan perasaan padanya. Ghea benar-benar bahagia
pada saat itu, ia yang selama ini hanya mengagumi Anan dalam diam, menyapanya
lewat senyuman dan menjaganya lewat doa akhirnya mengetahui apa Ghea rasakan
sama seperti yang Anan rasakan.
Dari kejauhan sudah terlihat Anan duduk
tampak sedang menunggu Ghea disebuah bangku panjang di Taman belakang kampus.
Ia tampak rapi, dengan baju kemeja merah sepadan dengan celana hitam yang ia
kenakan. Dengan pakaian seperti itu Anan terlihat pria yang sangat rapi.
Sedangkan Ghea tampak Anggun dengan baju gamis merah marun, sepadan dengan jilbab lebar panjang menjulur menutupi
auratnya. Ghea ingat betul saat itu sahabatnya anisa memaksanya untuk bertemu
dengan Anan, saat itu ia tidak tahu bahwa itu permintaan dari Anan.
Ghea tidak bisa menghindar karena Anisa terus memaksanya, menarik tangannya hingga ia tepat berada didepan Anan. “Ayo ghea, cepatlah..” dengan erat Anisa menarik tangan. “Sebenarnya ada apa ini Nisa, kenapa kamu memaksaku seperti ini.” Ia mencoba melepaskan genggaman tangan Anisa.
Namun Ghea tiba dihadapan Anan yang sedang duduk di bangku panjang.
“Assalamualaikum Anan.” Ucap Anisa dengan nada sedikit kelelahan.
“Wa’alaikumsalam Nisa, Ghea. Maaf Ghea ini aku yang meminta Nisa untuk menemuiku disini. Aku hanya ingin memberimu ini.” Dengan menyodorkan sepucuk kertas yang terbalut rapi dengan amplop. “Apa ini? Jawab Ghea dengan penuh tanya.
“Terkadang isi hati tak mampu diungkap melalui lisan, tercurahkan dalam tulisan kerena tulisan adalah jembatan penghubung antara dua insan. Di sepucuk kertas ini ada goresan hati yang terselipkan. Sebuah rasa untukmu Ghea.” Anan memberikan amplop putih kepada Ghea.
Ghea tidak bisa menghindar karena Anisa terus memaksanya, menarik tangannya hingga ia tepat berada didepan Anan. “Ayo ghea, cepatlah..” dengan erat Anisa menarik tangan. “Sebenarnya ada apa ini Nisa, kenapa kamu memaksaku seperti ini.” Ia mencoba melepaskan genggaman tangan Anisa.
Namun Ghea tiba dihadapan Anan yang sedang duduk di bangku panjang.
“Assalamualaikum Anan.” Ucap Anisa dengan nada sedikit kelelahan.
“Wa’alaikumsalam Nisa, Ghea. Maaf Ghea ini aku yang meminta Nisa untuk menemuiku disini. Aku hanya ingin memberimu ini.” Dengan menyodorkan sepucuk kertas yang terbalut rapi dengan amplop. “Apa ini? Jawab Ghea dengan penuh tanya.
“Terkadang isi hati tak mampu diungkap melalui lisan, tercurahkan dalam tulisan kerena tulisan adalah jembatan penghubung antara dua insan. Di sepucuk kertas ini ada goresan hati yang terselipkan. Sebuah rasa untukmu Ghea.” Anan memberikan amplop putih kepada Ghea.
Ghea dan Nisapun pergi meninggalkan Anan dan
sepucuk surat yang ia genggam.
***
Setiap kali melihat sepuncuk surat
darinya yang tergeletak diatas meja kamar Ghea, hatinya semakin teriris sakit.
Sore ini, hujan dengan derasnya membasahi bumi, ia baru saja terbuai dalam
masalalu. Ghea memeluk tubuhnya sekuat
hati. Butir-butiran manik menetes laju di atas pipi saat memikirkan rasa rindu
ini. Ujian apakah ini? Ia menangis sepuas hati. Siapkah ia menantinya kembali,
akankah Anan kembali sesuai janji. Sungguh Ghea ingin tahu bagaimana keadaannya
disana, ingin tahu cerita-cerita tentang negeri sakura yang indah itu. Ia
mencoba memeriksa emailnya yang beberapa hari belakangan ini Ghea abaikan. Ia
lihat ada beberapa email masuk dari Anan.
***
Assalamualaikum Ghea, bagimana
dengar kabarmu disana. Aku harap kau baik-baik saja. Aku ingin bercerita
tentang suasana malam ini, yang hiruk pikuknya
membuatku hampir lupa aku sedang di sebuh kota kecil. Udara malam yang sejuk
membuatku merasa senang akan keputusan dadakannya homestay disini. Meskipun
rasa berat hati untuk menjauh darimu. Ditengah2 musim panas seperti ini pun,
udaranya sejuk dan menyegarkan. Aku bisa membanyangkan kemarin sedang kegerahan
di Tokyo, kemarin mengeluh suhu di Tokyo mencapai 39 derajat.
Lentera kertas berwarna
warni bergelantungan menerangi malam dengan pendar cahayanya yang temaram.
Angin mempermainkanku, membuat lentera2 itu berayun kegirangan. Masing2 mencoba
mengalahkan gelapnya malam walau hanya dengan bohlamnya yang sebesar
kelingking. Keempat sisi lapangan dipenuhi dengan stand nonpermanen yang
menjual penganan maupun menawarkan permainan. Para pengunjung mengenakan
yukata, kimono musim panas yang ringan dan berwarna warni cerah. Seakan
pemakaiannya ingin mengalahkan warna lampion San kembang api sekaligus.
Beberapa pemuda juga mengenakan yukata untuk pria. Bukannya tampak kuno,
pakaian tradisional itu malah membuat mereka tampak seperti samurai modern. Rambut
mereka kebanyakan dicat, warna emas dan coklat yg membosankan. Pebampilan
mereka tidak kalah dari gadis2 yang datang.
Aku menduga mereka adalah
pemuda yang tinggal di kota dan sedang pulang kampung. Aku jadi teringat akan
kampungku sendiri, dan teringat tentang hadirmu walau aku harus memendam rasaku
dahulu. sebulan sekali selalu saja ada hajatan, entah itu khitanan, nikahan,
atau kelulusan. Kalau sudah begitu semua gadis desa akan keluar dengan pakaian
terbaik mereka dengan sanggul dan kepang yg terjuntai, siap menjerat hati lawan
jenisnya. Seindah apapapun suasana di negeri sakura ini, keindahan itu tak
berarti apa-apa tanpa hadirmu Ghea.
Aku tahu, banyak diluar sana
hati yang mungkin bisa saja menjadi pilihan lain. Hati yang bersedia menemani
sepiku. Yang bersedia bermalam larut bersamaku.Yang bersedia berbagi segala yang
ia punya padaku. Namun, aku telah memilihmu. Aku memilihmu karena aku percaya.
Rasa tidak pernah salah dalam mengeja. Meski rasa tidak selalu benar dalam memperhitungkan
luka. Tidak mengapa, bagiku memilihmu selalu mampu memulihkan. Kau obat atas segala
nyeri disudut hatiku. Walau kadang tidak jarang kau juga sebab rindu memagut
sepi.
Rimbun bunga sakura di atas
kepala ku, menyejukkan udara yang sudah sarat khas musim SAKURA. Hatiku
berdebar-debar saat membayangkan hadirmu disini, bersamaku menikmati indahnya
bunga sakura. Aku tak mungkin salah mengartikan tanda-tandanya. Kaulah yang
kuinginkan membisikkan kata paling Indah di telingaku; Aishiteru Ghea.
***
Ghea tergugu membaca kiriman dari Anan,
ia menangis dalam senyap. Rasa rindu dibalut dalam kesabaran. Tak tahu pasti
sampai kapan ia akan menanti, namun kepastian untuk terus menantinya akan
selalu Ghea jaga. Disaat ku sedang mencoba menyatukan rindu yang entah
bagaimana caranya untuk menyatukan, terdengar ketukan pintu dari luar kamarku.
Terdengar suara ibu memanggilku.
“Ghea, sedang apa kamu nak?
Ayo keluar ada tamu yang ingin bertemu denganmu, nak.” Ucap ibu dengan terus mengetuk
pintu kamar Ghea.
“Iya, sebentar Bu. Ghea pasti
keluar.” Jawab lirih Ghea sambil mengusap airmatanya. “Ada siapa bu, teman Ghea?” tanya Ghea.
“Teman Ayahmu, ayo Ibu dan Ayah akan
memberimu kejutan. Kamu menangis nak?” tanya ibu melihat matanya yang merah
sembab.
“Tidak, bu. Ghea hanya sedang
merindukan seseorang saja.” Jawab Ghea lirih. “Benarkah, Pria mana yang dirindukan
oleh puteri ibu yang cantik ini.” Tanya ibu merayu.
“Lain waktu akan ku ceritakan pada
ibu.” Jawab Ghea karena akan tiba di ruang tamu. Nampak jauh sudah terdengar
obrolan-obrolan yang sedikit ramai, setibanya terlihat ada seorang pemuda yang
berkemeja putih duduk dengan tenang. Dan nampak orangtuanya ikut mendampingi terlihat
sudah akrab sekali dengan Ayah.
“Nah, ini puteri Ayah baru keluar.
Mari nak, Ayah kenalkan pada putera teman Ayah namanya Hasan. Dia baru saja
lulus di Universitas Islam di Bandung. Dia juga anaknya baik dan shalih
tentunya pantas jadi imammu kelak.” Tiba-tiba Ayah menyapan Ghea dan segera
memperkenalkan pemuda yang duduk tepat didepannya itu.
***
Allah...
Ujian apa ini, pemuda itu datang ingin megajaknya ta’aruf. Pemuda yang shalih
dan tak diragukan lagi kebaikannya. Apa yang harus Ghea lakukan, Anan aku
berjanji pada hatiku akan menantimu. Tapi bagaimana dengan pilihan kedua
orangtuanya tidak ada alasan yang tepat untuk menolak pilihannya. Ghea ingat betul nasehat Guru pesantrennya ia
menangis dalam senyap saat menceritakan semuanya tentang Anan, tentang pemuda
yang Ayah pilih.
“Alasan
kamu menolak itu apa si Ghea, emang seberapa baik calon pilihan kamu?
Hafalannya berapa jus? kalau alasan kamu menolak masih jauh dari kata syar’i,
lebih baik kamu kembali pada pilihan Ayah kamu. Pilihan orangtua kamu.” Nasehatnya
dengan tegas.
***
Tidak ada alasan untuknya
menolak lelaki shalih itu, ia harus memberi tahu anan perihal ini. Ghea
kirimkan e-mail pada Anan. “Assalamualaikum Anan, kau tahu Anan, aku ini putri
Ayahku, aku ini miliknya. Bagaimana mungkin aku bisa memilih calon imam tanpa
restu dari Ayahku. Aku akan memilih apa yang Ayah pilih, pria yang tak ku kenal
sekalipun jika itu yang menurutnya mampu membimbingku aku akan mengatakan YA.
Aku tahu cinta itu bukan dicari, tapi ditumbuhkan. Maafkan aku Anan, yang tak setia
dengan janji hatiku. Hasan memang datang tidak lebih lama dari kehadiranmu,
namun keinginannya untuk menikahiku mengalahkan janjiku kepadamu. Aku tak tahu
pasti kapan hari pernikahan itu tiba, namun Hasan sudah datang menemui Ayahku,
aku tak tahu pertemuan apa itu yang pasti aku akan memilih Hasan. Sehebat
apapun ku pertahankan takkan pernah bisa ku lawan segala ketetapan yang Tuhan
tuliskan. Ku sadar ini jawaban yang Tuhan berikan, dengan pasrah engkau ku ikhlaskan.
Tak mampu lagi aku berkata, selain kata MAAF. Semoga kau akan menemukan yang
lebih baik dariku. Percayalah Anan, rencana indahNya lebih indah dari yang kita
rencanakan.
Anan
tersontak kaget membaca kiriman dari Ghea, tubuhnya lemas, jatungnya berdetak
kencang ingin menghentikan waktu dan merubah takdirNya. Mana mungkin Anan mampu
merelakan Ghea, selama ini Anan telah merangkai mimpi masa depan untuk bersama
Ghea. Hari-hari terasa gelap bagi Anan, Anan tak mampu untuk terus bertahan di
Negeri sakura ini. Anan memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menemui Ghea.
***
Disisi
lain, Ghea sedang mempersiapkan hari pernikahannya bersama Hasan pria pilihan
orangtuanya. Dua hari lagi pernikahan itu akan dilaksanakan, sedangkan Anan
sedang dalam perjalanan ke Indonesia. Tepat dihari pernikahan Ghea, pagi itu
Anan tiba dibandara dan melaju cepat menuju rumah kediaman Ghea. Anan sangat
berharap dapat menghentikan pernikahan itu. Gerak laju kendaraannya tak dapat
lagi dihentikan, dia membanting stirnya begitu keras. Sekeras keinginannya
untuk hidup bersama Ghea. Tinggal beberapa menit lagi Anan akan tiba dirumah
Ghea, begitupun Ghea yang tinggal menghitung menit akan melaksanakan ijab
kabul.
Ketika
mobil Anan melaju dikecepatan yang tinggi tepat didepan rumah Ghea Anan
menabrak mobil yang akan melintas berlawan arah dengan mobil Anan. Anan
mengalami kecelakaan pendarahan hebat dikepalanya, namun Anan masih bisa menghirup
aroma nafas Ghea. Dalam keadaan tak berdaya Anan berjalan tertatih-tatih
menghampiri Ghea. Saat berjalan memasuki rumah ghea orang-orang tersontak diam
melihat Anan yang begitu tak berdaya untuk berjalan. Darah-darahpun seakan
melukis kisah tragis hatinya dilantai. Tepat didepan pintu Anan mendengar kata
sah dari penghulu dan para hadirin yang hadir. Di detik itu juga Ghea melihat
Anan dan kemudian tubuh Anan jatuh terbaring ke lantai Ghea dengan cepat
menghampiri Anan, namun sayang ketika Ghea menggenggam tangan Anan, Ghea tak
merasakan desak nafas Anan.
-----END
*Antologi cerpen tema katastrofa diselenggarakan oleh Pena House*
No comments:
Post a Comment