Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

                                                            Memori Pada Secangkir Kopi


Bukit kemuning.                                                                                                         
Itulah desa kelahiranku. Sebuah desa kecil dengan beberapa dusun, RT/RW yang letak rumahnya saling berdekatan. Sebelum masuk desaku, seratus atau dua ratus langkah ke arah desaku sungai sekipi menjadi pemandangan pertama mengiri mata siapapun yang melewatinya. Di sepanjang sungai itu banyak pohon-pohon besar, seperti jati, karet, dan pinus. Disebelah utara setelah sungai kebun kopi terhampar luas  sejauh mata memandang. Ada juga beberapa petak sawah dipinggir sungai sekipi yang ditanami padi, tetapi tak seberapa dibanding pohon-pohon kopi yang tingginya kini sudah nyaris dua meter. Disanalah, di kebun kopi itu, aku mengais rezeki. Seperti desa lain di Sumatera, 

Tuhan memberkati desaku dengan tanah yang gembur, dan subur. Meskipun begitu  bapakku tak punya tanah berhektare-hektare  bapak hanya sekedar menjaga kebun milik oranglain hingga panen tiba hasil kopi akan dibagi dua oleh pemilik kebun. Tak mengapa walaupun demikian kebutuhan bapak sehari-hari selalu tercukupi. Bahkan untuk membiayai pendidikanku kelak adalah hasil dari kebun kopi.

Sejak kecil kata ibu aku sering diajak ke kebun, karena peran ibu untuk membantu bapak ibu selalu membawaku kemanapun ibu pergi yang tak lain pergi ke kebun.  Ketika aku balita pun ibu pernah menceritakan ketika aku tertidur bapak membuatkanku sebuah ayunan dengan sehelai kain yang ditali erat lalu diikat pada tangkai pohon cengkeh. Disaat aku pulas tidur kesempatan ibu membantu bapak  memetik kopi disaat musim panen tiba.

Beranjaknya remaja pun sering bapak mengajakku ke kebun meskipun aku seorang wanita tapi bapak selalu melatihku untuk menjadi wanita tangguh. Wanita yang tidak hanya pintar memasak, belajar dan mengaji saja tapi juga harus pintar bekerja.
Matahari mulai terbit, kehangatannya menusuk hingga sanubari. Kebetulan hari ini aku libur sekolah  seperti hari-hari libur biasanya aku dan bapak bersiap-siap berangkat ke kebun. Sedangkan ibu tetap dirumah bersama adik ku yang masih bayi.
“Bekalnya sudah dibawa belum nduk?”.                                                                                       
“Sudah pak,”
Kami pun bergegas berangkat. Karena tak memiliki kendaraan aku dan bapak berjalan kaki untuk bisa sampai di kebun. Cukup jauh memang tapi hal itu sering kami lakukan dan  sudah terbiasa bagiku dan bapak. Karena masih teramat pagi berjalan kaki terasa menenangkan.

Akhirnya tiba di kebun, aku dan bapak bergegas memetik kopi. Keranjangpun sudah siap bergantung di dada kami yang akan menjadi wadah untuk menampung kopi yang kami petik.
“Aduh, pak banyak sekali semut.” Baru saja aku mulai memetik segerombolan semut tiba-tiba menyerang badanku. Tampaknya segerombolan semut itu sangat terganggu karena aku mengusik pohon yang menjadi sarangnya.                                                                                                    
“Hati-hati nduk, pilih pohon yang tidak ada semutnya saja.” Bapak menghampiriku dan memastikan bahwa aku baik-baik saja.              

Disaat-saat seperti ini waktu yang cukup berharga untukku. Ditengah teriknya matahari, udara panas yang memancing tenggorokanku untuk terus menegukkan air.tak mengapa meski begitu ada saja hilir mudir agin yang membuat sejuk.        

Dahlan begitu nama bapak. Seuntai senyum dan kata-kata bijak dan cerita-cerita tentang pengalamannya yang selalu saban hari bisa ku dengar dari mulut bapak. Matanya yang bening dan tajam seolah sikap tegasnya sudah tertanam didalam jiwanya.   
“Susah ya pak berkebun seperti ini, banyak prosesnya belum lagi nanti bapak panggul kopi ini pasti berat pak.” Keluhanku ketika memetik kopi.                                                                              
“Ya, mau gimana nduk. Kalau ndak ngurus kebun kopi kamu ndak bisa sekolah. Biaya kamu sekolah dari kopi ini. Pesanan jahit bapak untuk biaya makan. makanya kamu sekolah yang pinter biar gak kerja dikebun seperti bapakmu ini.” Jawab bapak seraya tangannya aktif meraih tangkai-tangkai kopi.                                                                                                                                          
“Minah mau sekolah SMK saja pak biar tidak sulit cari kerjanya, agar tidak kuliah lagi kan tidak merepotkan bapak.” Jawabku.                                                                                                
“Kalau bapak tidak punya hutang dengan paklek mu pasti bapak menyekolahkanmu hingga perguruan tinggi, agar kamu bisa jadi guru ndak kerja dikebun seperti bapak.” Ada sedikit keinginan bapak agar aku tidak bergelut dengan kopi-kopi ini lagi.                                                           
“Minah akan belajar lebih giat lagi pak, siapa tahu ada program beasiswa kuliah atau ada orang yang mau membiayai minah kuliah. Hehe,,.”                                                                                          
“Ya, bisa saja nduk. Tidak ada yang tidak mungkin kalau kita berusaha dan berdoa asal dalam niat dan keyakinan yang baik pasti diberi jalan oleh Allah.”             
Ini yang membuatku selalu nyaman ketika bersama bapak, selalu saja mendukung keinginanku. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu saja bermakna dan membangkitkan semangatku dalam menggapai cita-cita.                 
            ***
September 2011. Baru saja kuterima ijazah sekolah menengah pertama. Ini adalah terakhir aku belajar di desaku. Setelah menerima ijazah, aku harus segera mendaftarkan di sekolah menengah kejuruan, dan itu pertanda aku sudah dewasa. Aku pun harus sekolah di luar desa, dan tentunya harus jauh dari keluarga. Tentunya akan ku tinggalkan rutinitasku bersama bapak, membantu bapak memetik kopi, membantu ibu memasak di dapur, menjaga adik dan rutinitas lainnya yang biasa aku kerjakan. Mulai sekarang aku akan fokus untuk belajar dan belajar.
Malam merangkak begitu perlahan, menyiksa kenangan dan kebiasaan yang sering ku lakukan di desa. Malam ini adalah malam terakhir aku di rumah, karena esok pagi aku akan berangkat mendaftar sekolah yang cukup jauh dari desaku. Tak dapat ku pungkiri rasa berat meninggalkan ibu, bapak dan adik memang cukup menyiksa. Bagaimanapun, aku harus pergi dan meraih cita-citaku. Menjadi siswa berprestasi melanjutkan ke perguruan tinggi seperti yang bapak inginkan.
Inilah waktu yang di tunggu, berpisah dan mulai memasuki halaman baru untuk menapaki kehidupan. 

Dengan suara pelan, aku berkata,”Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh pak, bu... Belum lagi rampung kalimatku, Bapak sudah duduk bersila dan menekur di depanku, tenggelam dalam tatapan pilu bapak melepaskan ku dari sisinya. Serta merta keheningan menyelimuti kami.           

Bapak terkesima menatapku, lalu duduk bersila di hadapanku. “Belajar yang rajin nduk, gapai apa yang menjadi cita-citamu. Jadikan  membaca dan menulis sebagai hobimu, jadikan membaca dan menulis adalah obat segala kegelisahan yang menyelimuti hatimu. Kelak kamu akan memetik hasil kegemaranmu itu.”                                                                                                                     
“Iya, pak. Aku akan ingat pesan bapak.” Jawabku dengan suara terisak tangis.                         
Seketika rasa kesedihan menusuk-nusuk hatiku. Tidak, aku tidak akan mempermainkan lelaki hebat yang kukagumi kesetiaannya ini. Aku akan melakukan yang terbaik untuk membuat bapak bangga.  Belajar dengan sungguh-sungguh, berprestasi dan impian terbesarku melanjutkan sekolah keperguruan tinggi tanpa membebani bapak. Apakah aku menikmati kesunyian ini? Tidak, aku merasa belum bisa membanggakan apa-apa untuk bapak. Malah, mungkin aku telah menjadi anak yang banyak membebani bapak. Air mataku menetes, sungguh. Aku sedang berpikir bagaimana kelak aku bisa membuat bapak bangga atas prestasiku. Rasa lelah bapak dalam mengais rezeki disebuah kebun kopi akan kah bisa terbayar dengan hasil prestasiku? Tapi, aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk bapak.       
            ***
Dua tahun aku jauh dari keluarga, menginjak kelas tiga aku dikabarkan bapak jatuh sakit. Aku tidak bisa jika harus jauh dari bapak jika keadaan bapak sakit. Akupun memutuskan untuk pulang dan pergi ke sekolah dari rumah meskipun cukup jauh kebetulan  saja anak paklek ku yang baru masuk SMK mendaftarkan diri di sekolahku, dan ia pun memiliki kendaraan untuk bisa digunakan ke sekolah jadi aku bisa pergi bersamanya.

Disuatu sore menjelang ashar, terdengar suara rintihan lembut dari pojok kamar Bapak. Aku yang saat itu sedang membaca buku di kamar mencoba menghiraukan suara itu. Suara itu kembali terdengar aku tak mungkin akan tetap diam menghiraukan suara itu. Aku bergegas melompat dari kamar tidurku melangkah ke kamar Bapak. Suara rintihan Bapak semakin terdengar.  

Aku duduk disamping Bapak yang sedang merintih sakit itu.
“Bapak ndak kuat nduk”.. dengan suara lirih tanpa kekuatan.
Aku diam,namun meneteskan airmata.                                                                                             
nduk...nduk.. bapak ingin menyerah saja nduk!”                                                                                
Aku tetap diam namun menangis dan kedua tanganku memijat kaki Bapak.                              
Bukan maksudku menghiraukan rintihan Bapak. Tapi bagaimana aku sanggup menjawab? Bagaimana bisa aku menjawab rintihan Bapak.                                                                                                  “nduk....”! kata itu terucap lagi.
Aku hanya diam, membiarkan airmata terus menitik. Tidak berapa lama kata rintihan Bapak terdengar semakin keras. Seakan-akan Bapak bosan dengan rasa sakitnya.

Tuhan....
Airmata ku menderas lagi. Satu kata yang membuatku tak ingin menerima jika kata itu benar menjadi nyata.
“Bapak sudah bosan hidup menanggung sakit..!”
Setelah menderita sakit sekian lama dan melakukan segala cara untuk menyembuhkan rasa sakitnya namun tak kunjung sembuh. Dari cara Tradisional dan modern semua telah bapak lakukan, namun sejauh ini belum ada kesembuhan. Nampaknya memang sedikit harapan untuk bisa sembuh. Begitu kata orang,benarkah?
Apakah tidak ada waktu lagi untuk Bapak berusaha melawan rasa sakitnya. Jika ucapan Bapak kali ini memang benar adanya, sanggupkah aku menerima semua ini.

Tapi kenapa sekarang?                                                                                                           
Kenapa terjadi saat aku akan menghadapi ujian sekolah. Saat aku teramat sangat ingin melanjutkan kuliah setelah lulus nanti. Menjadi guru adalah Cita-cita ku sejak aku mengenal sosok guru. Tapi aku pikir takdir dan ujian barangkali tidak memilih tempat apalagi waktu. Bukankah ujian itu Allah berikan pada tiap-tiap hamba-Nya.

Membayangkan aku, adik-adikku dan ibu terbang tanpa sayap seorang bapak. Membayangkan cinta yang lepas dari genggaman?
Orang tercinta yang selama bertahun-tahun selalu disisi, sejak terlahir hingga dewasa yang selalu melindungi memberi kasih dan sayangnya, kemudian Allah meminta untuk kembali ke haribaan-Nya. Siapkah?
Pemikiran demikian membuatku takut kehilangan, khawatir tidak ikhlas menerima. Ragu akan kemandirian, sanggupkah Ibuku menerima jika memang kenyataannya harus kehilangan. Sanggupkah Ibuku terbang dengan satu sayap? Sanggupkah adik-adikku melalui hari tanpa sosok seorang Bapak?
Tangis airmataku, Ibu dan Adik-Adikku menambah suasana mengharukan atas satu ucapan bapak yang membuat batin kami seperti dikoyak melihat semua tragedi  yang membayangkan kehilangan bapak.
Tak lama suasana mulai tenang, isak tangis mulai berhenti, namun Bapak mengulang kata itu kembali.
“Bapak tidak mau lagi hidup!!”                                                                                                   
Aku mengelak dengan keras atas ucapan bapak.                                                                               “Sudahlah Pak jangan berbicara seperti itu, tetap mengatakan hal yang baik kami semua ingin Bapak sembuh, tapi kenapa Bapak harus patah semangat seperti itu, ayolah Pak tidak usah berburuk sangka atas takdir Allah, tetaplah berkeyakinan bahwa Bapak akan sembuh, bukankah Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya.      

Aku berdoa dalam hati,                                                                                                               “Ya Allah, bukannya aku tidak menerima takdir-Mu, aku takut tak ada yang mencari nafkah karna kehilangan Bapak. Aku terlalu sulit menerima jika ini benar menjadi nyata. Suasana pun kembali seperti semula, sepertinya rasa sakit Bapak sedikit reda. Hembusan nafasnya mulai teratur, prasaannya mulai membaik. Kami pun menadahkan tangan keatas seraya mengucap syukur Alhamdulillah.

Setelah keadaan kembali normal aku mencoba berbicara pada ibu.                                           
“Apakah tidak sebaiknya kita bawa bapak ke rumah sakit saja bu?                                           
“Sudah nduk, bapak mu sudah dirawat beberapa hari tapi ndak ada perubahan. Sebenarnya sudah lama bapak menderita sakit hanya saja bapak melarang ibu memberitahumu. Awalnya bapak hanya kelelahan karena terlalu banyak memanggul kopi untuk dibawa pulang. Ibu tidak ikut bapakmu ke kebun karena ibu dirumah juga menunggu kopi-kopi yang sedang dijemur. Ditambah lagi paklekmu meminta hutang bapak musim ini langsung di lunasi semua. Bapakmu langsung memikirkan beban itu. Kamu tau nduk rumah yang menjadi tempat tinggal kita selama ini. Tanah ini milik saudara buklekmu dulu bapak dan ibu terbelit dalam kemiskinan karena adik-adik bapakmu banyak, bapakmu lebih mementingkan kebutuhan mereka dan kini saudara buklekmu meminta untuk meninggalkan rumah ini atau melunasi tanahnya. Untung saja ada yang berkenan membantu membayarkannya dulu jadi kita tidak perlu pindah rumah. Hutangpun semakin menumpuk ya itu yang jadi beban bapakmu. Bapak banting tulang untuk membiayaimu sekolah, bagaimana caranya setiap nduk butuh uang harus bapak cari.” Ibu menjelaskan secara jelas padaku.

Aku mendengarkan dengan hikmat, airmatapun menetes. Aku sudah menjadi salah satu beban berat yang harus bapak tanggung. Aku berjanji setelah menyelesaikan sekolahku yang tinggal beberapa bulan ini akan belajar dengan sungguh-sungguh. Alhasil aku mendapat tawaran beasiswa kuliah dengan catatan dengan mengajar di yayasan milik guruku. Namun setelah ku pikir aku tidak bisa menerima tawaran kuliah itu meskipun itu adalah cita-cita terbesarku.
Jika aku menerima tawaran kuliah itu, bagaimana dengan hutang-hutang bapakku. Aku harus bekerja untuk melunasi hutang-hutang bapak, belum lagi adik-adikku yang masih duduk dibangku sekolah.
***
Mei 2014 aku menerima ijazah sekolah menengah kejuruan. Petanda aku selesai belajar dan mengenyam pendidikan. Jika siswa lain sibuk ingin mendaftar ke Universitas mana lain halnya denganku. Kuliah? Lupakan. Aku sibuk akan bekerja kemana. Ku tatap ijazah yang ku genggam ini, tidak terlalu buruk aku tercatat beberapa prestasi setiap tahunnya dari ajaran tahun pertama hingga kini aku selalu masuk tiga besar di kelas. Sudah sering ku beritahu bapak setiap kali menerima raport tapi menurut bapak sepertinya bukan prestasi yang luar biasa.

Ku tunjukkan ijazahku dan piagam-piagam penghargaanku. Bapak membacanya penuh hikmat. Lalu, menatap ku. Ku coba menatap mata Bapak dengan penuh kesedihan. Mendadak mataku nanar. Masya Allah setelah mendengar penjelasan Bapak diwaktu muda hingga saat ini harus menghidupi keluarga dan Adik-Adiknya yang tak sedikit jumlahnya setelah ditinggal Kakek. Pantas saja tubuh Bapak saat ini sudah tak mampu bekerja karna sudah terlalu lelah ia menghadapi dunia yang keras ini.

Ku lihat wajah Ibu terlihat menahan tangis. Dimatanya ada rasa kasihan yang mendalam terhadap diriku. Batinku kembali terguncang mendengar masalalu kehidupan Bapak. Seperti itukah masalalu Bapak Ibuku. Sehebat itukah mereka mampu melewati kehidupan ini. Menjadi salah satu alasan juga kenapa bapak tak memiliki satu jenggal kebun kopi, disaat warga lain memiliki berhektare-hektare kebun kopi.

Kata-kata Bapak berikutnya bagai telaga sejuk yang mengaliri relung-relung hatiku.       “maafkan Bapak jika selama ini keras padamu nduk! Bapak yang seolah-olah tak pernah bangga atas prestasi-prestasi yang pernah kau dapatkan selama sekolah! Tapi itu karena bapak tak ingin kau berbesar hati, mungkin kau berpikir seharusnya kau diperlakukan manja karena prestasi-prestasi yang mampu kau capai. Bapak tak ingin kau manja. Itu sebabnya Bapak tak pernah memujimu. Kau harus punya hati sekeras baja untuk menapaki hidup. Bapak ingin anak sulung Bapak ini menjadi sosok yang berbeda. 

Meskipun seorang wanita namun harus berani dan gagah mampu seperti elang terbang tinggi mengepakkan lebar sayap nya”.

Menjadi seekor elang... itukah yang diinginkan Bapakku. Menjadi wanita tangguh, menjadi seseorang. Menjadi orang dalam arti sebenarnya. Punya karakter dan prinsip yang berbeda. Siap mengarungi kerasnya hidup.
***
Kesembuhan bapak menjadi hal terbesar yang patut disyukuri, meskipun bapak tidak bisa bekerja seperti dulu lagi, melihat senyumnya saja sudah cukup berharga bagiku. Sekarang giliranku yang menunjukan baktiku untuk melunasi hutang dan menyekolahkan adik-adikku. Meskipun aku tahu apapun yang ku lakukan tidak akan pernah membayar jasa bapak dan ibu.

Lagi-lagi aku harus jauh meninggalkan bapak ibu, mencari pekerjaan yang lebih baik di kota. Lautan luas menjadi batas kerinduan yang selalu menyelimuti jiwa. Melewati hari-hari baru tanpa orang-orang yang sejak dulu tidak pernah jauh dariku. 

Tak mengapa sepulang aku bekerja, aku selalu mengobati kegelisaan dan rinduku dengan menikmati secangkir kopi dalam varian menu berbeda adalah pengalaman seru yang selalu ku nikmati di kedai kopi.

Jenis minuman kopi yang biasanya aku pesan saat nongkrong di coffee shop? Espresso, Americano, flat white, cappuccino atau café latte? Minuman-minuman ini begitu familiar di telinga dan sudah dinikmati kebanyakan peminum kopi di Indonesia.

Yang paling aku suka flat white, flat white sungguh  berbeda dengan café latte dan cappuccino meski menggunakan bahan baku yang sama: kopi dan susu. Flat white menggunakan rasio susu lebih banyak dari café latte dan disajikan hampir tanpa foam. Bagian atasnya terdapat krema kopi dan setitik foam. Dari segi rasa Flat white lebih kuat dari café latte dan lebih lembut dari cappuccino.

Satu cangkir yang ku nikmati begitu menyembuhkan sejenak rasa rinduku. Kenangannya yang  pahit seakan larut dalam manisnya Flat white yang ku teguk. Mungkin saja kopi yang ku teguk ini adalah salah satu butir biji kopi yang dulu bapak petik. Meskipun untuk menjadikan kopi senikmat ini butuh perjuangan dan proses yang panjang. Mungkin semua orang bisa menikmati kopi, tapi tidak semua orang bisa merasakan lelahnya memetik dan mengelola kopi menjadi minumam yang begitu nikmat.
---------
Nama               : Fitriana lestari
Alamat             : Jl. Kramat Oyar, villa mutiara setu
                           Blok C No 9, Cipayung Jakarta Timur.
No HP              : 085717318729
No KTP            : 1803125202960004
Facebook          : Dfitri Lestari
E-MAIL           : Fitrianalestari28@gmail.com
FITRIANA LESTARI, Seorang yang gemar menulis dan ingin sekali terjun langsung di dunia tulis menulis. Dilahirkan di Lampung, 12 Februari 1996. Saat ini ia bekerja di Jakarta timur.



No comments:

Post a Comment

Menulis adalah obat segala kegelisahan yang menyelimuti hati

Ketika Zulaikha mengejar cinta Yusuf, semakin menjauh Yusuf darinya. Namun ketika Zulaikha mengejar cinta Allah, Allah datangkan Yusuf kepadanya.