Memori
Pada Secangkir Kopi
Bukit kemuning.
Itulah desa kelahiranku. Sebuah
desa kecil dengan beberapa dusun, RT/RW yang letak rumahnya saling berdekatan.
Sebelum masuk desaku, seratus atau dua ratus langkah ke arah desaku sungai
sekipi menjadi pemandangan pertama mengiri mata siapapun yang melewatinya. Di
sepanjang sungai itu banyak pohon-pohon besar, seperti jati, karet, dan pinus.
Disebelah utara setelah sungai kebun kopi terhampar luas sejauh mata memandang. Ada juga beberapa
petak sawah dipinggir sungai sekipi yang ditanami padi, tetapi tak seberapa
dibanding pohon-pohon kopi yang tingginya kini sudah nyaris dua meter.
Disanalah, di kebun kopi itu, aku mengais rezeki. Seperti desa lain di Sumatera,
Tuhan memberkati desaku dengan tanah yang gembur, dan subur. Meskipun
begitu bapakku tak punya tanah
berhektare-hektare bapak hanya sekedar
menjaga kebun milik oranglain hingga panen tiba hasil kopi akan dibagi dua oleh
pemilik kebun. Tak mengapa walaupun demikian kebutuhan bapak sehari-hari selalu
tercukupi. Bahkan untuk membiayai pendidikanku kelak adalah hasil dari kebun
kopi.
Sejak kecil kata ibu aku sering
diajak ke kebun, karena peran ibu untuk membantu bapak ibu selalu membawaku
kemanapun ibu pergi yang tak lain pergi ke kebun. Ketika aku balita pun ibu pernah menceritakan
ketika aku tertidur bapak membuatkanku sebuah ayunan dengan sehelai kain yang
ditali erat lalu diikat pada tangkai pohon cengkeh. Disaat aku pulas tidur
kesempatan ibu membantu bapak memetik
kopi disaat musim panen tiba.
Beranjaknya remaja pun sering
bapak mengajakku ke kebun meskipun aku seorang wanita tapi bapak selalu
melatihku untuk menjadi wanita tangguh. Wanita yang tidak hanya pintar memasak,
belajar dan mengaji saja tapi juga harus pintar bekerja.
Matahari mulai terbit,
kehangatannya menusuk hingga sanubari. Kebetulan hari ini aku libur
sekolah seperti hari-hari libur biasanya
aku dan bapak bersiap-siap berangkat ke kebun. Sedangkan ibu tetap dirumah
bersama adik ku yang masih bayi.
“Bekalnya sudah dibawa belum nduk?”.
“Sudah pak,”
Kami pun bergegas berangkat.
Karena tak memiliki kendaraan aku dan bapak berjalan kaki untuk bisa sampai di
kebun. Cukup jauh memang tapi hal itu sering kami lakukan dan sudah terbiasa bagiku dan bapak. Karena masih
teramat pagi berjalan kaki terasa menenangkan.
Akhirnya tiba di kebun, aku dan
bapak bergegas memetik kopi. Keranjangpun sudah siap bergantung di dada kami
yang akan menjadi wadah untuk menampung kopi yang kami petik.
“Aduh, pak banyak sekali semut.”
Baru saja aku mulai memetik segerombolan semut tiba-tiba menyerang badanku.
Tampaknya segerombolan semut itu sangat terganggu karena aku mengusik pohon
yang menjadi sarangnya.
“Hati-hati nduk, pilih pohon yang tidak ada semutnya saja.” Bapak
menghampiriku dan memastikan bahwa aku baik-baik saja.
Disaat-saat seperti ini waktu
yang cukup berharga untukku. Ditengah teriknya matahari, udara panas yang
memancing tenggorokanku untuk terus menegukkan air.tak mengapa meski begitu ada
saja hilir mudir agin yang membuat sejuk.
Dahlan begitu nama bapak. Seuntai
senyum dan kata-kata bijak dan cerita-cerita tentang pengalamannya yang selalu
saban hari bisa ku dengar dari mulut bapak. Matanya yang bening dan tajam
seolah sikap tegasnya sudah tertanam didalam jiwanya.
“Susah ya pak berkebun seperti
ini, banyak prosesnya belum lagi nanti bapak panggul kopi ini pasti berat pak.”
Keluhanku ketika memetik kopi.
“Ya, mau gimana nduk. Kalau ndak ngurus kebun kopi kamu
ndak bisa sekolah. Biaya kamu sekolah dari kopi ini. Pesanan jahit bapak untuk
biaya makan. makanya kamu sekolah yang pinter biar gak kerja dikebun seperti
bapakmu ini.” Jawab bapak seraya tangannya aktif meraih tangkai-tangkai kopi.
“Minah mau sekolah SMK saja pak biar tidak sulit cari kerjanya, agar
tidak kuliah lagi kan tidak merepotkan bapak.” Jawabku.
“Kalau bapak tidak punya hutang dengan
paklek mu pasti bapak menyekolahkanmu hingga perguruan tinggi, agar kamu bisa
jadi guru ndak kerja dikebun seperti bapak.” Ada sedikit keinginan bapak agar
aku tidak bergelut dengan kopi-kopi ini lagi.
“Minah
akan belajar lebih giat lagi pak, siapa tahu ada program beasiswa kuliah atau
ada orang yang mau membiayai minah kuliah. Hehe,,.”
“Ya, bisa saja nduk. Tidak ada yang tidak mungkin kalau
kita berusaha dan berdoa asal dalam niat dan keyakinan yang baik pasti diberi
jalan oleh Allah.”
Ini yang membuatku selalu nyaman
ketika bersama bapak, selalu saja mendukung keinginanku. Kata-kata yang keluar
dari mulutnya selalu saja bermakna dan membangkitkan semangatku dalam menggapai
cita-cita.
***
September 2011. Baru saja
kuterima ijazah sekolah menengah pertama. Ini adalah terakhir aku belajar di
desaku. Setelah menerima ijazah, aku harus segera mendaftarkan di sekolah
menengah kejuruan, dan itu pertanda aku sudah dewasa. Aku pun harus sekolah di
luar desa, dan tentunya harus jauh dari keluarga. Tentunya akan ku tinggalkan
rutinitasku bersama bapak, membantu bapak memetik kopi, membantu ibu memasak di
dapur, menjaga adik dan rutinitas lainnya yang biasa aku kerjakan. Mulai
sekarang aku akan fokus untuk belajar dan belajar.
Malam merangkak begitu perlahan,
menyiksa kenangan dan kebiasaan yang sering ku lakukan di desa. Malam ini
adalah malam terakhir aku di rumah, karena esok pagi aku akan berangkat
mendaftar sekolah yang cukup jauh dari desaku. Tak dapat ku pungkiri rasa berat
meninggalkan ibu, bapak dan adik memang cukup menyiksa. Bagaimanapun, aku harus
pergi dan meraih cita-citaku. Menjadi siswa berprestasi melanjutkan ke
perguruan tinggi seperti yang bapak inginkan.
Inilah waktu yang di tunggu,
berpisah dan mulai memasuki halaman baru untuk menapaki kehidupan.
Dengan suara
pelan, aku berkata,”Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh pak, bu... Belum
lagi rampung kalimatku, Bapak sudah duduk bersila dan menekur di depanku,
tenggelam dalam tatapan pilu bapak melepaskan ku dari sisinya. Serta merta
keheningan menyelimuti kami.
Bapak terkesima menatapku, lalu
duduk bersila di hadapanku. “Belajar yang rajin nduk, gapai apa yang menjadi cita-citamu. Jadikan membaca dan menulis sebagai hobimu, jadikan
membaca dan menulis adalah obat segala kegelisahan yang menyelimuti hatimu.
Kelak kamu akan memetik hasil kegemaranmu itu.”
“Iya, pak. Aku akan ingat pesan
bapak.” Jawabku dengan suara terisak tangis.
Seketika rasa kesedihan
menusuk-nusuk hatiku. Tidak, aku tidak akan mempermainkan lelaki hebat yang
kukagumi kesetiaannya ini. Aku akan melakukan yang terbaik untuk membuat bapak
bangga. Belajar dengan sungguh-sungguh,
berprestasi dan impian terbesarku melanjutkan sekolah keperguruan tinggi tanpa
membebani bapak. Apakah aku menikmati kesunyian ini? Tidak, aku merasa belum
bisa membanggakan apa-apa untuk bapak. Malah, mungkin aku telah menjadi anak
yang banyak membebani bapak. Air mataku menetes, sungguh. Aku sedang berpikir
bagaimana kelak aku bisa membuat bapak bangga atas prestasiku. Rasa lelah bapak
dalam mengais rezeki disebuah kebun kopi akan kah bisa terbayar dengan hasil
prestasiku? Tapi, aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk bapak.
***
Dua tahun aku jauh dari keluarga,
menginjak kelas tiga aku dikabarkan bapak jatuh sakit. Aku tidak bisa jika
harus jauh dari bapak jika keadaan bapak sakit. Akupun memutuskan untuk pulang
dan pergi ke sekolah dari rumah meskipun cukup jauh kebetulan saja anak paklek ku yang baru masuk SMK
mendaftarkan diri di sekolahku, dan ia pun memiliki kendaraan untuk bisa
digunakan ke sekolah jadi aku bisa pergi bersamanya.
Disuatu sore menjelang ashar,
terdengar suara rintihan lembut dari pojok kamar Bapak. Aku yang saat itu
sedang membaca buku di kamar mencoba menghiraukan suara itu. Suara itu kembali
terdengar aku tak mungkin akan tetap diam menghiraukan suara itu. Aku bergegas
melompat dari kamar tidurku melangkah ke kamar Bapak. Suara rintihan Bapak
semakin terdengar.
Aku duduk disamping
Bapak yang sedang merintih sakit itu.
“Bapak ndak kuat nduk”.. dengan
suara lirih tanpa kekuatan.
Aku
diam,namun meneteskan airmata.
“nduk...nduk.. bapak ingin menyerah saja nduk!”
Aku tetap
diam namun menangis dan kedua tanganku memijat kaki Bapak.
Bukan maksudku menghiraukan
rintihan Bapak. Tapi bagaimana aku sanggup menjawab? Bagaimana bisa aku
menjawab rintihan Bapak.
“nduk....”!
kata itu terucap lagi.
Aku hanya diam, membiarkan
airmata terus menitik. Tidak berapa lama kata rintihan Bapak terdengar semakin
keras. Seakan-akan Bapak bosan dengan rasa sakitnya.
Tuhan....
Airmata ku menderas lagi. Satu
kata yang membuatku tak ingin menerima jika kata itu benar menjadi nyata.
“Bapak sudah bosan hidup
menanggung sakit..!”
Setelah menderita sakit sekian
lama dan melakukan segala cara untuk menyembuhkan rasa sakitnya namun tak
kunjung sembuh. Dari cara Tradisional dan modern semua telah bapak lakukan,
namun sejauh ini belum ada kesembuhan. Nampaknya memang sedikit harapan untuk
bisa sembuh. Begitu kata orang,benarkah?
Apakah tidak ada waktu lagi untuk
Bapak berusaha melawan rasa sakitnya. Jika ucapan Bapak kali ini memang benar
adanya, sanggupkah aku menerima semua ini.
Tapi kenapa sekarang?
Kenapa terjadi saat aku akan
menghadapi ujian sekolah. Saat aku teramat sangat ingin melanjutkan kuliah
setelah lulus nanti. Menjadi guru adalah Cita-cita ku sejak aku mengenal sosok
guru. Tapi aku pikir takdir dan ujian barangkali tidak memilih tempat apalagi
waktu. Bukankah ujian itu Allah berikan pada tiap-tiap hamba-Nya.
Membayangkan aku, adik-adikku dan
ibu terbang tanpa sayap seorang bapak. Membayangkan cinta yang lepas dari
genggaman?
Orang tercinta yang selama
bertahun-tahun selalu disisi, sejak terlahir hingga dewasa yang selalu
melindungi memberi kasih dan sayangnya, kemudian Allah meminta untuk kembali ke
haribaan-Nya. Siapkah?
Pemikiran demikian membuatku
takut kehilangan, khawatir tidak ikhlas menerima. Ragu akan kemandirian,
sanggupkah Ibuku menerima jika memang kenyataannya harus kehilangan. Sanggupkah
Ibuku terbang dengan satu sayap? Sanggupkah adik-adikku melalui hari tanpa
sosok seorang Bapak?
Tangis airmataku, Ibu dan
Adik-Adikku menambah suasana mengharukan atas satu ucapan bapak yang membuat
batin kami seperti dikoyak melihat semua tragedi yang membayangkan kehilangan bapak.
Tak lama suasana mulai tenang,
isak tangis mulai berhenti, namun Bapak mengulang kata itu kembali.
“Bapak tidak mau lagi hidup!!”
Aku mengelak dengan keras atas
ucapan bapak. “Sudahlah Pak jangan berbicara
seperti itu, tetap mengatakan hal yang baik kami semua ingin Bapak sembuh, tapi
kenapa Bapak harus patah semangat seperti itu, ayolah Pak tidak usah berburuk
sangka atas takdir Allah, tetaplah berkeyakinan bahwa Bapak akan sembuh,
bukankah Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya.
Aku berdoa dalam hati, “Ya Allah, bukannya aku tidak menerima
takdir-Mu, aku takut tak ada yang mencari nafkah karna kehilangan Bapak. Aku
terlalu sulit menerima jika ini benar menjadi nyata. Suasana pun kembali
seperti semula, sepertinya rasa sakit Bapak sedikit reda. Hembusan nafasnya
mulai teratur, prasaannya mulai membaik. Kami pun menadahkan tangan keatas
seraya mengucap syukur Alhamdulillah.
Setelah keadaan kembali normal
aku mencoba berbicara pada ibu.
“Apakah tidak sebaiknya kita bawa bapak
ke rumah sakit saja bu?
“Sudah nduk, bapak mu sudah dirawat beberapa hari tapi ndak ada perubahan. Sebenarnya sudah
lama bapak menderita sakit hanya saja bapak melarang ibu memberitahumu. Awalnya
bapak hanya kelelahan karena terlalu banyak memanggul kopi untuk dibawa pulang.
Ibu tidak ikut bapakmu ke kebun karena ibu dirumah juga menunggu kopi-kopi yang
sedang dijemur. Ditambah lagi paklekmu meminta hutang bapak musim ini langsung
di lunasi semua. Bapakmu langsung memikirkan beban itu. Kamu tau nduk rumah yang menjadi tempat tinggal
kita selama ini. Tanah ini milik saudara buklekmu dulu bapak dan ibu terbelit
dalam kemiskinan karena adik-adik bapakmu banyak, bapakmu lebih mementingkan
kebutuhan mereka dan kini saudara buklekmu meminta untuk meninggalkan rumah ini
atau melunasi tanahnya. Untung saja ada yang berkenan membantu membayarkannya
dulu jadi kita tidak perlu pindah rumah. Hutangpun semakin menumpuk ya itu yang
jadi beban bapakmu. Bapak banting tulang untuk membiayaimu sekolah, bagaimana
caranya setiap nduk butuh uang harus
bapak cari.” Ibu menjelaskan secara jelas padaku.
Aku mendengarkan dengan hikmat,
airmatapun menetes. Aku sudah menjadi salah satu beban berat yang harus bapak
tanggung. Aku berjanji setelah menyelesaikan sekolahku yang tinggal beberapa
bulan ini akan belajar dengan sungguh-sungguh. Alhasil aku mendapat tawaran
beasiswa kuliah dengan catatan dengan mengajar di yayasan milik guruku. Namun
setelah ku pikir aku tidak bisa menerima tawaran kuliah itu meskipun itu adalah
cita-cita terbesarku.
Jika aku menerima tawaran kuliah itu,
bagaimana dengan hutang-hutang bapakku. Aku harus bekerja untuk melunasi
hutang-hutang bapak, belum lagi adik-adikku yang masih duduk dibangku sekolah.
***
Mei 2014 aku menerima ijazah
sekolah menengah kejuruan. Petanda aku selesai belajar dan mengenyam
pendidikan. Jika siswa lain sibuk ingin mendaftar ke Universitas mana lain
halnya denganku. Kuliah? Lupakan. Aku sibuk akan bekerja kemana. Ku tatap
ijazah yang ku genggam ini, tidak terlalu buruk aku tercatat beberapa prestasi
setiap tahunnya dari ajaran tahun pertama hingga kini aku selalu masuk tiga
besar di kelas. Sudah sering ku beritahu bapak setiap kali menerima raport tapi
menurut bapak sepertinya bukan prestasi yang luar biasa.
Ku tunjukkan ijazahku dan
piagam-piagam penghargaanku. Bapak membacanya penuh hikmat. Lalu, menatap ku.
Ku coba menatap mata Bapak dengan penuh kesedihan. Mendadak mataku nanar. Masya
Allah setelah mendengar penjelasan Bapak diwaktu muda hingga saat ini harus
menghidupi keluarga dan Adik-Adiknya yang tak sedikit jumlahnya setelah
ditinggal Kakek. Pantas saja tubuh Bapak saat ini sudah tak mampu bekerja karna
sudah terlalu lelah ia menghadapi dunia yang keras ini.
Ku
lihat wajah Ibu terlihat menahan tangis. Dimatanya ada rasa kasihan yang
mendalam terhadap diriku. Batinku kembali terguncang mendengar masalalu
kehidupan Bapak. Seperti itukah masalalu Bapak Ibuku. Sehebat itukah mereka
mampu melewati kehidupan ini. Menjadi salah satu alasan juga kenapa bapak tak
memiliki satu jenggal kebun kopi, disaat warga lain memiliki berhektare-hektare
kebun kopi.
Kata-kata
Bapak berikutnya bagai telaga sejuk yang mengaliri relung-relung hatiku. “maafkan Bapak jika selama ini keras
padamu nduk! Bapak yang seolah-olah tak pernah bangga atas prestasi-prestasi
yang pernah kau dapatkan selama sekolah! Tapi itu karena bapak tak ingin kau
berbesar hati, mungkin kau berpikir seharusnya kau diperlakukan manja karena
prestasi-prestasi yang mampu kau capai. Bapak tak ingin kau manja. Itu sebabnya
Bapak tak pernah memujimu. Kau harus punya hati sekeras baja untuk menapaki
hidup. Bapak ingin anak sulung Bapak ini menjadi sosok yang berbeda.
Meskipun
seorang wanita namun harus berani dan gagah mampu seperti elang terbang tinggi
mengepakkan lebar sayap nya”.
Menjadi seekor elang... itukah
yang diinginkan Bapakku. Menjadi wanita tangguh, menjadi seseorang. Menjadi
orang dalam arti sebenarnya. Punya karakter dan prinsip yang berbeda. Siap
mengarungi kerasnya hidup.
***
Kesembuhan bapak menjadi hal
terbesar yang patut disyukuri, meskipun bapak tidak bisa bekerja seperti dulu
lagi, melihat senyumnya saja sudah cukup berharga bagiku. Sekarang giliranku
yang menunjukan baktiku untuk melunasi hutang dan menyekolahkan adik-adikku.
Meskipun aku tahu apapun yang ku lakukan tidak akan pernah membayar jasa bapak
dan ibu.
Lagi-lagi aku harus jauh meninggalkan
bapak ibu, mencari pekerjaan yang lebih baik di kota. Lautan luas menjadi batas
kerinduan yang selalu menyelimuti jiwa. Melewati hari-hari baru tanpa
orang-orang yang sejak dulu tidak pernah jauh dariku.
Tak mengapa sepulang aku
bekerja, aku selalu mengobati kegelisaan dan rinduku dengan menikmati secangkir kopi dalam varian menu berbeda adalah pengalaman seru
yang selalu ku nikmati di kedai kopi.
Jenis
minuman kopi yang biasanya aku pesan saat nongkrong di coffee shop? Espresso, Americano, flat white, cappuccino atau café latte?
Minuman-minuman ini begitu familiar di telinga dan sudah dinikmati kebanyakan
peminum kopi di Indonesia.
Yang paling aku suka flat white, flat white sungguh berbeda dengan café
latte dan cappuccino meski menggunakan bahan baku yang sama: kopi dan susu. Flat
white menggunakan rasio susu lebih banyak dari café latte dan disajikan hampir tanpa foam. Bagian atasnya terdapat krema
kopi dan setitik foam. Dari
segi rasa Flat white lebih
kuat dari café latte dan lebih lembut
dari cappuccino.
Satu
cangkir yang ku nikmati begitu menyembuhkan sejenak rasa rinduku. Kenangannya
yang pahit seakan larut dalam manisnya Flat white yang ku teguk. Mungkin saja
kopi yang ku teguk ini adalah salah satu butir biji kopi yang dulu bapak petik.
Meskipun untuk menjadikan kopi senikmat ini butuh perjuangan dan proses yang
panjang. Mungkin semua orang bisa menikmati kopi, tapi tidak semua orang bisa
merasakan lelahnya memetik dan mengelola kopi menjadi minumam yang begitu
nikmat.
---------
Nama : Fitriana lestari
Alamat : Jl. Kramat Oyar, villa mutiara
setu
Blok C No 9, Cipayung Jakarta Timur.
No
HP : 085717318729
No
KTP : 1803125202960004
Facebook : Dfitri Lestari
FITRIANA
LESTARI, Seorang yang gemar menulis dan ingin sekali terjun langsung di dunia
tulis menulis. Dilahirkan di Lampung, 12 Februari 1996. Saat ini ia bekerja di
Jakarta timur.
No comments:
Post a Comment