SEMINAR PERDANA



Aku bukan seekor merpati yang bisa terbang bebas. Mengingat peranku seorang babby sitter, layaknya seorang ibu yang harus selalu ada disisi anak-anaknya. Aku sudah meminta izin sejak satu bulan yang lalu untuk mengikuti acara seminar yang diadakan oleh UKM Al-Qolam UPI ke Penerbit Republika.

Berat sekali aku meninggalkan anak-anak, meskipun aku pergi dalam keadaan anak-anak sedang tertidur pulas. Tetap saja kaki ini berat untuk melangkah dan pergi meninggalkan. tapi, mau bagaimana lagi pertama kalinya memang aku ikut seminar menulis, tentu menjadi kesempatan yang bagus untuk menambah ilmu. Sudah menjadi cita-citaku menjadi penulis tentu harus diperjuangkan.

Waktuku memang tidak banyak, apalagi untuk sekedar berleha-leha dan duduk santai. Acara seminar di mulai dari pukul 10.00 dan 13.00. Aku mengikuti materi pada pukul 13.00, itupun aku datang terlambat. Karena banyak pekerjaan di rumah aku harus mementingkannya, apalagi berurusan dengan anak-anak. Pukul 12.40 aku sudah sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat. Dari memesan ojek online tidak juga ditemukan alamat tujuannya. Sedari pagi juga aku belum makan nasi, mau tidak mau sebelum berangkat harus makan terlebih dahulu. Jam pun seakan berdetik sangat cepat, ku harus dengan cepat menggerakkan badanku untuk melakukan apapun aktivitasku. Untuk mengejar waktu ku makan sesuap nasi bersamaan dengan memakai kaos kaki dan sepatu. Agar waktu tak terbuang sia-sia. Makan sekedar isi perut saja, sampai ku lupa menyuap nasi tanpa lauknya.

Pukul 13.05 aku bergegas berjalan menuju penerbit, bukan jakarta kalau tidak berhadapan dengan macet. Mendapat kabar kalau acara sudah dimulai, hati semakin gelisah rasanya ingin terbang saja agar cepat sampai. Kendaraan motor yang ku tumpangi melaju begitu cepat, meski harus berhenti jika menemukan lampu merah dan berhadapan dengan macet. Tak mengapa, anggap saja itu sebagai latihan menguji kesabaran.

Tepat pukul 13.49 aku tiba di Penerbit Republika, sesampainya disana aku bingung akan melangkahkan kaki kemana. Haruskah ku masuk dan mencari mereka yang sudah lebih dulu datang. Ahh, terlalu memberanikaan diri. Tidak tidak, biar ku tunggu didepan saja mungkin akan ada yang menjemputku dan menggandeng tanganku untuk masuk. Tentu saja dengan begitu aku tidak akan canggung ataupun malu karena terlambat. Ku kirim pesan ke pada seseorang yang sejak tadi memang sudah memberi kabar padaku tentang seminar. Tak lama ia pun datang tersenyum ramah menyambut kedatanganku, seraya mengatakan "Ayo kak, masuk".

Ku langkahkan kakiku sangat pelan, melihat suasana didalam ruangan sangat sunyi nampaknya seminar dilaksanaka  diruangan yang tidak jauh dari pintu masuk. Benar, sudah terlihat beberapa sepatu yang terhampar dilantai juga suara seorang wanita yang sedang memberikan materi. Seketika pandangan tertuju padaku, ya mungkin karena aku baru tiba tentu saja menjadi objek untuk dipandang. Ku tundukan padangan lalu duduk sejajar dengan peserta lain. Nampaknya aku sudah banyak tertinggal materi, tapi tak mengapalah setidaknya ada satu kalimat yang mungkin saja bisa membawa perubahan dalam jiwaku untuk lebih semangat menulis.

Ketika mentoring memberi kesempatan untuk bertanya, beberapa peserta seakan berlomba mengacungkan tangan untuk bertanya. Aku hanya diam dan menyimak apa yang mereka pertanyakan, kali ini aku lebih banyak diam tidak seperti saat sekolah ada saja yang dipertanyakan. Sebenarnya banyak yang ingin ku pertanyakan namun karena aku banyak tertinggal materi aku jadi bingung apa yang akan ku pertanyakan.

Untuk melengkapi catatanku, aku mencoba pinjam catatan pada Kang Agi yang memang sudah ku kenal meski hanya lewat facebook. Setidaknya ada poin yang bisa ku mengerti dari catatan yang Kang Agi tulis.

Berlanjut pada materi selanjutnya, oleh Bapak Syahrudin El-Fikri tentang Mengenal Industri Pembukuan. Ketika beliau mengajukan pertanyaan kepada peserta tentang semester kuliah, aku berharap pertanyaan itu tidak sampai padaku. Tentu saja aku akan berkecil hati tantang pertanyaan itu. Sampai detik ini keinginanku untuk kuliah selalu menghantui tidurku. Tentang ucapan ibu yang akan memberiku jalan untuk bisa mencicipi bangku kuliah. Ketika itu kami melewati sebuah Universitas Terbuka Di Jakarta, saat itu aku tertegun dan hampir menitikan airmata setiap kali melewati sebuah Universitas. Karena itu adalah mimpiku, mimpi yang sempat tertunda. Namun aku tidak pernah memaksakan mimpi itu terwujud, aku terus mengenggam mimpi itu tak akan ku lepas dari genggamanku. Karena aku percaya Allah selalu memberi jalan bagi setiap hambaNya yang terus berusaha.

Banyak pelajaran yang bisa ku petik dari materi yang telah disampaikan, membuka mata dan jiwaku untuk terus semangat menulis. Hatiku seketika menjadi gelisah, posisi duduk mulai tidak nyaman. Kaki terasa pegal, ku tatap jam tanganku menunjukan pukul 15.16. Aku sudah memberitahu Ibu bahwa materi akan selesai pukul 13.00 tapi hingga pukul 13.16 nampaknya materi belum selesai hingga azan Asharpun berkumandang Bapak Syarifudin masih asik menyampaikan materinya. Walau sesekali iya menyinggung waktu jam pulang. Hingga pukul 14.00 masih ada sesi pengambilan foto bersama. Ponselku menerima pesan dari Ibu yang mempertanyakan perihal kepulangan. Aku sibuk membalas ponselku sampai menghiraukan peserta lain yang akan memberiku sebuah setifikat. Pertemuan dengan kang Agi juga ku hiraukan karena kesibukanku dengan ponsel yang ku genggam. Padahal banyak hal yang ingin ku pertanyakan tentang menulis, seputar KPKers, semua berlalu begitu saja.

Sudah ku bilang aku bukan seekor merpati yang bisa terbang bebas, pikiranku melayang terbang entah kemana. Memikirkan jam mandi dan jam makan anak-anak, belum lagi ketakutanku jika Ibu marah karena aku tak memenuhi janjiku untuk pulang pukul 15.00. Keadaan semakin menakutkan perihal pesanan ojek online yang tak kunjung datang. Aku meminta teman jauhku untuk memesankan gojek, karena ponselku tak memimiliki aplisanya tantu saja aku meminta orang lain untuk membantuku. Teman lain sibuk mengambil wudu, sedangkan aku masih bergelut dengan kegelisahan jika aku ikut solat mungkin waktu akan lebih banyak terbuang untuk bisa sampai di rumah, tentu aku akan semakin terlambat. Namun gojek tidak juga datang, agar pikiranku kembali tenang ku ambil wudu saja dan melaksanakan solat Ashar.

Hingga pukul 16.30 peserta lain meninggalkan tempat, bergegas pulang. Mengingat mereka datang jauh dari Bandung. Aku masih berdiri dengan kegelisahanku menunggu kendaraan yang akan menghantarkanku pulang. Aku sibuk mempertanyakan perihal gojek yang temanku pesan karena tak kunjung juga datang. Aku sedikit lega ketika pesan masuk ku baca yang bertuliskan, "Mbak, saya sudah berada di jl. kav no 65." Aku mencoba membalasnya namun, nampaknya ujian memang tidak melihat tempat apalagi waktu. ketika ku balas pesan gagal ternyata pulsa sudah habis. Untung saja sebelum berangkat ku daftar paket internet jika tidak entah apa jadinya aku.

Kegelisahan semakin menyelimuti hati, ku langkahkan kaki mencari gojek yang sudah sampai. Tapi nyatanya tak ku temukan. Gelisah semakin membara ketika ponselku mulai lemah, bagaimana jika ponselku ini mati. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, ketika hati berselimut gelisah tiba-tiba padam setelah ku menemukan gojek yang melambaikan tangan kepadaku. Sedikit lega karena bisa beranjak pulang.

Gelisah semakin berselimut ketika ku tatap jam tanganku menunjukan pukul 17.00. Belum lagi harus berhadapan dengan macet, mungkin aku akan tiba dirumah ketika senja. Pikiranku diselimuti rasa takut, bagaimana jika Ibu marah. Kalimat yang menghantui pikiranku, hati dan jiwa ikut terhempas dibawa angin besar. Belum lagi suara tlakson motor dan mobil yang sangat mengganggu, Tidak pernah aku berada disuasana seperti ini. Bisingnya kedaraan, punggung yang terasa pegal karena tak ada tempat bersandar, perutku yang melilit-lilit karena lapar, beratnya kepalaku karena helm. Ditambah ketakutanku tentang amarah ibu yang akan meluap-luap ketika aku tiba di rumah. Motor merangkak begitu lambat, padatnya kendaraan mengurungku dalam kegelisahan. Aku memang sering berhadapan dengan macet, namun tak segelisah ini. Meskipun berhadapan dengan macet aku masih berada didalam mobil mewah yang ber-AC dingin tentu dengan sandaran tempat duduk yang bisa membuatku tertidur. Tapi kali ini jauh berbeda, sesekali aku memejamkan mataku berharap ketika ku buka sudah sampai didepan rumah. Tentu hanya sesekali, jika aku tertidur bisa-bisa aku terjatuh.

Azan maghrib pun berkumandang, aku belum tiba di rumah namun nampaknya tidak jauh lagi. Aku hanya berdoa dan menyebut asma Allah disepanjang jalan berharap Allah akan mendinginkan pikiran Ibu, Untung saja sebelum ponselku mati, aku sempat mengirim foto jalanan yang macet agar ibu bisa memaklumi dan tidak terlalu khawatir karena keterlambatanku.

Mungkin ini pengalaman perdanaku dalam memperjuangkan cita-cita, banyak hikmah dan pelajaran yang bisa ku petik. Hingga tiba dirumah aku masih menghela napas seraya bersyukur atas nikmatNya.


16 september 2016
Cipayung, Jakarta Timur.

2 comments:

Menulis adalah obat segala kegelisahan yang menyelimuti hati

Ketika Zulaikha mengejar cinta Yusuf, semakin menjauh Yusuf darinya. Namun ketika Zulaikha mengejar cinta Allah, Allah datangkan Yusuf kepadanya.