Oleh: FITRIANA LESTARI
Dhelisa berjalan dengan penuh senyum yang
mengembang sejak ia berada di rumah kosnya.
Dengan pakaian tertutup, khas dengan hijab lebar yang sederhana dan wajah yang
tak terpoles bedak sedikitpun, ia berjalan menuju sebuah masjid yang biasa ia
hadiri 2x dalam seminggu untuk
mengabdikan diri kepada anak-anak yatim bersama dengan teman satu kampus; Miftakh,
Khoir, dan Zahra.
Disepanjang jalan menuju masjid, Dhelisa tak mampu untuk
menyembunyikan senyumannya, bahkan Dhelisa sendiri tak mampu untuk menahan
gembiranya saat ia akan bertemu dengan ketiga
temannya itu, karena tentu saja ada yang berbeda dari teman-temannya itu, Miftah. Sejak pertama kali bertemu dengan Miftah, Dhelisa sudah merasakan
sesuatu yang aneh, perasaan yang berbeda di dalam hatinya.
Sesampainya di Masjid, seperti biasa
Dhelisa datang lebih awal dibanding yang lainnya. Gadis berhijab itu memasuki
Masjid dan duduk diteras Masjid. Tangannya pun terulur untuk mengambil sebuah
buku yang selalu ia bawa. Buku itupun ia baca untuk menemani waktu menunggunya.
Menunggu teman-temannya datang, tepatnya menunggu Miftah datang. Sesekali Dhelisa mengalihkan pandangannya ke
arah pintu gerbang kecil Masjid dan kembali lagi fokus ke bukunya. Selalu
seperti itu. Lama setelah itu, langkah kaki seseorang yang sedari tadi Dhelisa
tunggu terdengar di telinganya. Dhelisa tidak bisa membohongi hatinya. Ia
bahagia, dan senyum kecilpun menghiasi bibirnya.
“Assalamualaikum, ukhty Dhelisa sudah
lama sampai disini?” terdengar suara Miftah di telinga Dhelisa. Pria yang sejak
tadi ia tunggu.
“ Walaikumsalam,
eh Akhy Miftah, tidak terlalu lama tapi
saya sudah selesai membaca 4-5 judul cerpen. Pria itu pun tersenyum manis
mendengar jawaban Dhelisa. Tangan Miftah pun terulur untuk mengambil Al-Qur’an
kecil dari dalam tasnya. Dan memposisikan duduk sedikit jauh dari Dhelisa.
“kalau cerpen yang Ukhty
baca satu judul satu buku, itu lama sekali. ” kata Pria itu dengan membuka
lembaran kitab yang ia pegang.
“tidak Akhy, baru beberapa menit saja,
ngomong-ngomong Akhy Khoir dan Ukhty Zahra belum juga datang?” tanya Dhelisa.
“mungkin sedang dalam perjalanan
Ukhty, anak-anak saja masih banyak yang belum datang sebaiknya kita tunggu
saja” jawab pria itu.
“ammayatshaaluun.. anninnabailadzim..”,
Nadanya terdengar begitu indah, satu
ayat melekat dalam pikiran. Begitulah Pria yang Dhelisa kenal, jika sedang
menunggu Pria itu luangkan waktu menunggunya dengan melantunkan Ayat suci
Al-Qur’an. Berbeda dengan Akhy Khoir
jika menunggu hanya memegang pada ponselnya, mengajak berbicara Dhelisa pun
tidak. Itu sebabnya Dhelisa begitu terpesona kepada Pria yang Dhelisa sebut
Akhy Miftah.
Tampaknya waktu yang menciptakan semua
ini, mengenal Miftah bukan berarti harus tahu semua tentangnya. Pertemuan yang
seringkali terjadi mampu membuat dhelisa menilai kebaikannya, sikap lemah
lembutnya, kesabarannya. Dhelisa sama sekali tidak pernah terpikir untuk mengenalnya
lebih dekat lagi, meminta no ponselnya, mungkin terlalu berlebihan. Disembunyikan serapat apapun pasti akan ketahuan. Disaat Dhelisa
dan Zahra pulang bersama, tidak sengaja Zahra membuka buku milik Dhelisa, ada
sepotong kertas kecil yang tertulis nama Miftah terselip dilembaran bukunya.
“Dhelisa,kau
menyimpan rasa kepada Ustad Miftah kenapa tidak kau ungkapkan saja pada
orangnya?” Tanya Zahra.
Dhelisa
menjawab,
“Apa? Mengungkapkannya?
Bukankah wanita shalihah itu harus menjaga pandangan dan hatinya. aku tidak ingin terjerumus oleh cinta dunia
yang menyesatkan ini.”
“
Apa? Cinta? Benarkah kau cinta padanya? Biar ku sampaikan pada Miftah ya Dhe?”
Zahra sedikit menggoda Dhelisa.
“tidak
Zahra, ini bukan cinta hanya sekedar mengagumi?”
“benarkah?”
lagi-lagi Zahra menggoda.
Tidak! Zahra percayalah.” Dhelisa mencoba menyakinkan
Zahra.
Dhelisa tidak menginginkan Miftah
mengetahui perasaannya, dan mencoba menjelaskan semuanya pada Zahra.
“Zahra,
Salah jika Aku mengharapkannya? Aku benar mengharapkannya, namun harapan itu
tersalur di setiap sujudku. Sekali lagi ku tegaskan ini bukan cinta! Ini hanya
sebuah rasa kagum namun kekaguman itu membuatku mengharapkan pendamping seperti
Akhy Miftah. Bukankah semua wanita itu mengharapkan pendamping hidup yang baik,
shalih yang mampu menuntun kejalan yang lurus dan membimbing ke syurga.
“Baiklah
Dhelisa, Aku akan diam, tapi sampai kapan kamu akan menyembunyikan rasamu ini?”
Zahra mencoba berjanji untuk tidak menyampaikannya pada Miftah.
“biar
waktu saja yang akan menjawab.” Dengan menepuk punggung zahra. “seperti lagu saja
jawabanmu itu.” Sedikit menggoda,dan Zahra memberi saran kepada Dhelisa,
“Dhe, bukankah
kita wanita berhak mengungkapkan perasaan kepada Pria seperti Siti Khodijah
dahulu yang menyatakan ingin menikahi Rasul.”
“Zahra, Siti Khodijah kan Istri Nabi
aku hanya manusia biasa yang punya rasa tak pantas jika mengatakannya. Biarlah
Zahra ku jaga cinta ini dalam diam.”
Cukup Dhelisa menjadi pengagum
rahasianya, setidaknya Pria itu adalah lukisan pendamping hidup yang selama ini
Dhelisa nantikan. Bukankah jodoh adalah cerminan biar Dhelisa perbaiki diri
agar ia mampu menjaga hati dan tak terjerumus dalam cinta dunia yang
menyesatkan.
Sadar akan siapa dirinya,
jauh dari kata shalilah jauh dari baik namun ia selalu belajar dan berusaha
menjadi wanita yang shalihah. Ia isi waktu penantiannya dalam sabar, menanti
dalam taat. Berharap penuh keikhlasan, Pria yang ia kagumi, Pria yang ia nanti
meskipun jika diujung penantian kelak ternyata bukan dia seseorang yang Dhelisa
kagumi selama ini, keyakinannya seseorang itu adalah yang terbaik untuk
Dhelisa.
Sekalinya Dhelisa menatap tatapan Pria itu, tak sedikitpun ia mampu menatapnya
lebih lama. ia harus tetap menundukan pandangannya, kecuali jika Pria itu tak
mampu melihatnya. Andai saja Dhelisa mampu merubah tubuhnya menjadi banyangan
semu hingga Pria itu tak mampu melihatnya mungkin Dhelisa akan menatapnya lebih
lama.
Jika Dhelisa inginkan, ia mampu
menghilangkan rasa itu tidak sulit baginya menghilangkan rasa itu. Hal mudah
untuk membuang jauh rasa itu. Baginya yang sulit bukan menghilangkan rasanya
namun menjaganya untuk tetap terjaga suci dalam hati itu membutuhkan
perjuangan, kesabaran, keikhlasan, dan usaha yang tak sedikit.
Dhelisa yang hanya mampu meneriakkan
namanya didalam derasnya hujan, memandangnya dari kejauhan, menyapanya dalam
senyuman, mengaguminya dalam diam.
Sepenggal nama yang selau Dhelisa
harapkan, Pria yang Shalih, baik Akhlaknya, sepadan umurnya, dan berharap mampu
memberinya mahar surat Al-Mulk.
Disaat Dhelisa merindukan Miftah, ia
menceritakannya pada Zahra lewat telepon. “aku rindu Zahra, rindu hingga patah
hati dalam diam, apa yang harus ku lakukan semakin ku sebut namanya dalam doa ku
semakin mengharapkannya.”
“sudah ini bukti perjuanganmu
menjaga hati Dhelisa percayalah suatu hari nanti kamu dapat meraih cinta yang
suci bersemi tidak hanya di dunia namun bersemi hingga Surga-Nya, apakah kau
sudah menceritakan hal ini kepada orangtuamu? Dari buku yang pernah ku baca
cinta dalam diam itu lebih baik diceritakan pada Ibu dan Ayah mu karena doa
mereka sangat luarbiasa.” Zahra mencoba memberi saran Dhelisa.
Penantian yang cukup panjang bagi
Dhelisa, memendam perasaan yang sudah cukup lama ia simpan berharap suatu hari
nanti Naman Dhelisa lah yang Pria itu temukan dalam istikharohnya. Hingga suatu hari entah angin apa yang
menyapa, Miftah tiba-tiba datang menghampiri Dhelisa yang sedang duduk membaca
buku. Dan wrrrr~ hati ini berasa seperti habis disimpan didalam lemari es lalu
dipanaskan ditengah teriknya matahari ketika senyum manisnya mulai terlihat.
Dengan menutup lembaran buku yang Ia pegang Dhelisa menyapa dengan senyuman
sambil berkata, “Ada apa Akhy, ada yang bisa saya
bantu, masalah anak-anak mungkin?” dengan bibir gemetar dan kata-kata yang
gugup Miftah menjawab,
“Tidak, bukan itu Ukhty!”
hati Dhelisa seperti bunga-bunga yang bermekaran seolah-olah ada hal lain yang
akan dibicarakan.
“Lalu Akhy??” “Maaf
Ukhty Dhelisa sebelumnya, kapan Ukhty siap menikah? Kalau ada Pria yang
ingin meminang harus seperti apa? Maaf ya Ukhty kalau pertanyaan nya membuatmu
enggan menjawab. Miftah terlihat gugup sekali. Baru saja Dhelisa ingin membuka
mulut menjawab pertanyaan itu, Miftah tiba-tiba, “ Jika enggan menjawabnya pun tidak apa Ukhty
biar ku pergi saja. “Tidak
Akhy, tidak apa akan ku jawab. Sedikit menarik nafas. “siapapun Pria itu,
kapanpun Pria itu hadir. Asalkan Ia shalih, baik akhlaknya, sepadan umurnya,
dan Ia mampu memberiku mahar surat Al-Mulk lalu menyampaikan keinginannya kepada
Ayahku dan jika Ayah Ibuku menerimanya aku pun akan menerimanya. Karena
pilihanku pilihan Ayah, datang saja kerumah Orangtuaku. “
Hanya itu? Ustad terlihat kegirangan mendengar jawaban Dhelisa. Singakat saja
Dhelisa menjawab, “iya”
Dengan
seraya berdiri dari kursi Miftah menjawab,
“Baiklah
kalau begitu, permisi pergi dulu ya Ukhty, lanjutkan saja membacanya. Dhelisa bahagia sekali merasa ada jawaban atas
segala doa yang Ia panjatkan dalam ribuan sujudnya. Dengan segera Ia
menceritakan kepada teman baiknya Zahra, kebetulan Zahra memang akan menemui Dhelisa.
“Assalamualaikum
Dhe kau tahu tidak tadi Ustad Khoir menanyakan alamat..,” Zahra belum selesai
berbicara tiba-tiba Dhelisa memotongnya .
“Walaikumsalam Zahra, tunggu biar aku ceritakan dulu ada yang lebih penting
harus kamu tahu, kamu tahu tidak, tadi Miftah menemuiku duduk tepat didepanku,
menatap mataku, menanyakan kapan Aku siap menikah. Oh Zahra pasti kau dapat
merasakan apa yang kurasakan saat ini.” Penuh dengan senyuman seraya
membayangkan Miftah meminangnya. “Benarkah Zahra? Sungguh? Tapi kenapa tadi
Akhy Khoir menanyakan alamat rumah Orangtuamu. ”
Zahra sedikit bingung. “entahlah Zahra, Aku tak ingin tahu itu.” Dengan nada
tak peduli namun Zahra mengerti betul perasaan sahabatnya saat ini.
“Ya
sudah kalau begitu Zahra, besok libur apakah kamu akan pulang?”
“Iya Zahra aku
akan pulang, ingin menceritakan semuanya kepada Ayah Ibuku.” Tetap dengan
jawaban penuh senyum.
Keesokan harinya tibalah Zahra di Rumah,
rasa rindu keluarganya terobati setelah bertemu dan bercerita tentang Pria yang
kemarin menanyakan kapan Ia siap menikah, canda tawa Ayah Ibu dan Adik-adiknya
pecah dengan cerita Dhelisa. Selepas bercerita tak lama Dhelisa menemui sahabat
lamanya.
Sepulang dari rumah sahabatnya Dhelisa
dikejutkan dengan kedatangan beberapa orang di rumahnya. Wajahnya merah, ada
apa ini, Akhy Khoir, dan beberapa oranglainnya terlihat orangtuanya. Apa? Akhy
Khoir melamarnya, Pria Shalih, berakhlak baik, siap memberi mahar surat Al-Mulk
akan meminangnya.
Allah menjawab Doanya tapi tidakkah
tertukar nama yang selalu ia panjatkan. Mungkinkah Allah keliru? Dhelisa rasa tidak mungkin, Allah Maha Tahu Segalanya,
seharusnya tidak ada sedikitpun keraguan atas takdir Allah. Dan Ayah Dhelisa
tidak ada alasan untuk menolak lamaran Pria shalih yang diam-diam mencintai
Dhelisa.
Dalam diamnya Akhy Khoir menyimpan
harapan Kepada Dhelisa. Melukis nama
Dhelisa dalam Doa, karena jika melukisnya dalam kertas bisa saja kertas itu
rusak. Mengenal dan mencari tahu tentang siapa Dhelisa, semua ia lakukan lewat
teman dekatnya Miftah. Jika Allah sudah berkehendak, siapa yang bisa menolak.
Jika Allah sudah mengizinkan siapa yang bisa menahan.
No comments:
Post a Comment