Antara Kamu, Dia dan Detik Waktu




Rasanya berat sekali aku menghembuskan napas ini. Berat di dada terasa menyesakkan. Sekelebat bayang, kembali mengusik kedamaian hati. Rasanya hatiku berselimut resah dan gelisah, wajahku tertutup kabut hitam yang pekat, dan jantungku mungkin akan lari dan melompat. Seseorang di luar sana, telah menggeser satu dari pintu hatiku. Ia berhasil masuk dan melumpuhkan setengah dari pertahananku untuk tidak mengagumi sosok lelaki.

Namun, pada kenyataannya hati ini terlalu lemah untuk mampu bertahan. Hati tetap saja mengukir nama yang entah hatinya untuk siapa. Aku mengukirnya karena ia jauh lebih dulu dari kehadiranmu. Sebenarnya aku benci dengan hatiku yang tak mampu mengalahkan ego. Mengukirnya, Berharap, membayangkannya, tentu hanya sedekar ilusi. Hal yang terlalu indah bila menjadi nyata, dan aku tak layak mengubah hal indah itu.  


Aku pernah kecewa, aku terpukul ketika kejadian dua tahun silam. ketika kesalahan hatiku yang mengukir nama seseorang, berharap pada seseorang. Aku berusaha mengatakan...

“Aku baik-baik saja.” suaraku berusaha menguatkan diri. Jelas, pemandangan itu menjadi pukulan buatku. Kecewa pasti ada. Begitupun rasa sakit. 

Aku berusaha untuk terus menghela napas. Membekukan kembali bongkahan kesabaran yang nyaris mencair. Aku masih bertahan menumpangi hatiku yang mengukir namanya. Kupikir kejadian ini hanya mimpi, toh setiap orang bisa tertidur kapan saja dan dimana saja, permbicaraan hatiku entah melontar kemana. Namun kenyataan tak sesuai harapan. Airmataku seketika menitik.                    

Jantungku bagai diapit dua batu granit yang siap hancur setiap saat. Inikah rasanya kecewa. Menyaksikan lelaki yang ku kagumi menikahi wanita lain.

Dan kali ini aku takut hatiku melakukan kesalahan yang sama ada masa laluku. Siapa yang akan ku salahkan? Hatiku? Atau dia yang datang dalam kehidupanku?

Kalau lelaki bisa mendayung kemana pun ia mau, berhenti Di pelabuhan mana pun yang ia inginkan.

Tapi wanita hanya bisa menunggu untuk menjadi tempat berlabuh siapa yang lebih dulu sampai mendayung. Ya, mungkin itu caraku meyakinkan hatiku. Aku yang tak lain hanya seorang wanita yang menjadi tempat berlabuh. 

Sudah berulang kali aku katakan bukan?

Setiap orang pasti memiliki satu nama, meski keyakinan tak sepenuhnya ada.
Karena jika keyakinan itu ada pasti hati tidak akan siap kecewa. Ah, bukankah itu terlalu menyakitkan.

Jika ku mengartikan dirimu adalah hujan.

Aku menyukainya tapi, selalu berlindung di balik payung.
Bahkan, aku pernah memaki hujan ketika tetesnya membuat bajuku basah.
Terkadang aku rindu akan ketidak hadirannya. 
Namun, terkadang ketika aku menyesalinya karena tak kunjung reda.
Terkadang kehadirannya mendinginkan suasana. Namun, terkadang kehadirannya mencemburui hati.

Jika ku mengartikan dia adalah perahu kertas.
Perahu kertas, berjalan mengalir mengikuti arus yang lepas dari tangan pemiliknya. Terhanyut oleh arus yang mengalir. Entahlah, sampai dimana dia akan terhanyut, hingga aku yang menyentuh kertas basahnya sebelum ia berlabuh. Kertas basah yang ku sentuh, lalu ku lepas karena aku tak pantas untuk menjadi pemiliknya.

Aku inginkan kamu atau dia yang siap menjadi detik waktu. Bukan senja yang datang lalu pergi lagi, bukan hujan yang datang hanya sesaat, bukan angin yang kehadirannya tak tentu arah, bukan bintang yang hanya datang di malamku, bukan pula matahari yang hadir hanya siangku. 

Tapi, detik waktu..
yang selalu berjalan tak pernah berhenti, yang ku hitung tak ada habisnya, terus bergerak meski lambat, namun tak pernah berhenti. Ia akan berhenti ketika lelah, dan aku akan membangkitkan lelahnya hingga ia kembali untuk bergerak. 


Walau rasaku terserak ditempat yang tak terungkap. Semoga kau masih sediakan ruang untukku dihatimu.

No comments:

Post a Comment

Menulis adalah obat segala kegelisahan yang menyelimuti hati

Ketika Zulaikha mengejar cinta Yusuf, semakin menjauh Yusuf darinya. Namun ketika Zulaikha mengejar cinta Allah, Allah datangkan Yusuf kepadanya.