CATATAN PERNIKAHAN

    

Menumbuhkan rasa
Ku harap engkaulah bagian dari 
          dunia dan akhirat ku          
Kau satu-satunya orang yang akan.     bersamaku meraih surga-Nya



Episode petualangan arjuna mencari cinta memang sudah terlewat. Sepotong episode dimana mencari dan dicari ke sana ke mari, yang lebih sering kita dengar dalam bentuk wayang, telah berakhir. Atau, anggap saja memang sudah berakhir. Sebab kita memang harus beranjak dari sana. Ketika kita sudah menemukan. Aku menemukanmu dan kamu menemukanku. Kita berada pada satu keyakinan yang sama. Dimana kita sedang bersiap melangkah bersama menyebrangi laut luas, mengarungi samudera yang tentu tak mungkin tanpa badai yang menghadang.

Dalam hal ini, barangkali kita bisa mengibaratkan cinta seperti  bunga yang tumbuh di halaman rumah. Berusaha ke sana ke mari mencari bunga yang harum, pergi jauh ke taman sebrang mencari bunga yang indah. Hingga sadar bahwa bunga yang indah dan harum itu sulit dipetik. Lalu kembali ke halaman rumah terdekat, di sana didapati satu bunga sederhana yang mudah untuk dipetik. Begitu mudah, juga dekat. Andai kita mau merawatnya dari awal, pasti ia akan tumbuh lebih dari yang kita bayangkan.
Seperti halnya dengan bunga itu, cinta memang tak perlu lagi dicari. Cinta telah dan selalu ada, setia menanti dan ditumbuhkan.

 Bahkan, pada kesadaran yang lebih dewasa, cinta tak lagi bisa dipandang sebagai kesempurnaan fisik dan berlimpahnya materi. Kata ‘cinta’ tak lagi bisa diukur dengan segala apapun yang bisa dihitung. Bahwa sejatinya ia adalah pekerjaan, bukan sekedar perasaan apalagi kata tanpa makna.
Aku telah memilihmu, berarti aku telah siap menerimamu apa adanya. Dan ketika kamu telah memilihku, maka kamu telah siap untuk mendidikku menjadi wanita yang terindah untukmu dan dicintai Tuhannya. Itu katamu.

Aku benci dengan setiap pertanyaan ‘mengapa’? yang mengikuti pernyataan cinta. Cinta selalu butuh pembuktian daripada alasan. Saat seorang wanita telah memilihmu, berarti ia telah meletakkan kepercayaan akan kepemimpinanmu. Saat seorang wanita mencintai daya kemampuanmu berarti ia sedang siap untuk berjuang bersamamu. Saat wanita telah menerima lamaranmu, berarti ia telah siap sedia menerimamu apa adanya.

Maka jagalah dirinya, karena disitu telah tergenggam satu amanah dan kehormatan, mengenal agama, mengetahui dosa dan pahala. Karena rahimnya nanti adalah juga tempat melahirkan putera puterimu. Muliakanlah dirinya, karena dia adalah antara salah satu jalan surga untukmu dan anak-anakmu kelak.
                                                                      
                                                                                                                  ooOoo

Menjelang hari yang kita nanti, mendebarkan seperti ketika aku dulu menantikaan hari pembagian rapor, dan di titik puncaknya adalah ketika pengumuman siswa yang berprestasi. 17 November 2017 adalah hari yang kunanti dengan perasaan jauh lebih berdebar.

Sehari sebelumnya, aku dan keluarga sudah menanti kehadiranmu dan keluargamu. Kami telah menyiapkan sebuah rumah untuk beristirahat. Dari rumah itu, kira-kira butuh waktu lima menit untuk sampai di rumahku­­-tempat prosesi akad nikah dilangsungkan.

Beberapa malam terahir menjelang akad, ketika orang-orang terlelap tidur sementara mataku belum juga mau terpejam. Aku tak berhenti takjub pada kasih sayang Allah yang telah memberiku kesempatan untuk mengambil langkah sejauh ini.

Selain syukur, perasaanku malam itu juga diisi oleh sedikit rasa khawatir. Tentu saja aku bersykur, akhirnya kisah pencarianku berhenti di kamu. Kisah melukis pangeran surga telah berlalu, karena kini lukisan itu adalah kamu. Aku akan dijaga olehmu, tanggung jawab yang tak sampai dua puluh empat jam akan resmi kau emban. Dan itu artinya gelar istrimu yang selama ini ku impikan akan terwujud. Khawatir, tentu saja khawatir tentang amanahku untuk membiayai sekolah kedua adikku. Semoga aku bisa mengemban amanah ini, sebagai istrimu juga tak lupa sebagai seorang kakak untuk ke dua adikku. Malam yang akhirnya dengan susah payah aku mencoba terlelap. Ada satu keyakinan yang membuatku bisa terlelap dengan tenang: ada Allah-dan pedoman hidup yang diturunkannya. Ada Allah dengan 99 nama yang dimiliki-Nya. Lalu, apa lagi yang harus ku takutkan.

Ada Allah yang sudah mengizinkanku melukiskan pangeran surga yang ku impikan. Ada Allah yang dengan kuasa-Nya sudah mendampingiku hingga aku telah melangkah sejauh ini. Allah yang dengan segala keromantisan-Nya mempertemukan, membuat kita jatuh cinta, lalu dengan indahnya memisahkan kita sampai kita dipertemukan lagi dalam pertemuan yang jauh lebih indah dan syahdu. Dan dengan segala firman-Nya aku percaya akan segala janji-Nya.
Kita memang berusaha, tapi apalah daya kita jika bukan karena Allah.
                                                                    
                                                                                                                    oOo

“saya terima nikah dan kawinnya Fitriana Lestari binti Bapak Absori dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”

Kamu mengucap kalimat sakral itu dalam satu hentakan napas penuh penghayatan. Satu ikrar suci terucap, dengan menyebut nama Allah kamu sah menjadi suamiku. Tangamu menjabat tangan bapakku dengan gemetar.

Di hari itu aku keluar mengenakan baju serba putih terbalut hijab putihku. Ku melihat kesekeliling semua menatap ku dengan tersenyum bahagia melihat mata ibu ku berkaca-kaca. Ya Rabb aku bersyukur tak terhingga. Aku di dudukkan tepat di samping seseorang berbaju pengantin putih pria selesai ijab qabul. Saat nya pemberian mahar pelengkap syarat sebuah pernikahan. Setelah itu kami saling berpandangan. Mata ku semakin berair tak tahan akhirnya menerobos keluar melalui bola mata ku. Dia tersenyum...                          
Ku teteskan air mata ini agar lapang rasa penantianku
Serta inginku katakan, 
“Ku harap engkaulah bagian dari dunia dan akhirat ku.                                        Kau satu-satunya orang yang akan bersamaku meraih surga-Nya”

Dengan selesai proses akad tersebut, aku resmi menjadi tanggung jawabmu. Resmi sudah kau menjadi imamku.

Penantian telah berakhir. Tentang semua alasan, kamu selalu menjadi sebab untuk sebuah jawaban. Dan tentang kerinduan, kamu selalu menjadi sebab yang selalu ku rindukan.

Setelah melalui berbagai rangkaian prosesi itu, kita resmi menjadi suami istri. Kita masih malu-malu dalam menatap. Bukan sebab tak suka, tapi memang kita yang tak biasa saling menatap. Ketika kita menghabiskan waktu bersama, menatap cekat bola matamu. Betapa aku bersykur telah melangkah sejauh ini. Aku yang kini tak lagi sendiri. 

Aku yang mulai merangkai apa-apa yang ingin ku raih bersamamu. Cita-cita terbesarku akan ku raih bersama mu melangkah menggenggam tanganmu. Tak ada lagi yang ku takutkan. Tidak ada lagi sesuatu yang ku ragukan. Hari berikutnya aku semakin mantap dengan langkah kaki yang tegak. Aku seperti terlahir sebagai manusia yang baru. 





                                                                                                          


MEMULIHKAN LUKA
..........................................
Kepada langit, aku ingin merasakan malam dan kembali untuk terlelap masuk ke dalam gerbang mimpi yang masih tentangmu.
Seperti angin malam desauan dan dinginnya terangkum utuh bersama hati yang menolak untuk di sapa.
Dan dengan sore,aku merasakan hadirmu seperti senja yang datang sesaat lalu pergi lagi. Tak perlu bicara untuk menyapa. Kita terlanjur tenggelam di dasar samudera, yang percaya pergi tak mungkin kembali.
Sebelum hujan turun, aku ingin menyediakan payung, sebab aku tak ingin basah merasakan kedinginan tanpa kehangatan. Sampai ahirnya hujan turun membasahi bangku panjang di taman yang menjadi tempat dudukku.
Takutku bukan pada bajuku yang akan basah, melainkan pada kilat yang sesekali datang mengangetkanku. Memaksaku memberontak dan membentaknya.
Kegelisahan di sudut hati perlahan tenggelam dalam jurang yang dalam. Dan sepotong hati yang patah masih berselimut resah.
Sepasang mata yang menatap hujan begitu derasnya, “haruskah ku sediakan ruang tuk menempatkan hati yang baru? Seperti kapas putih yang membalut lukaku memncoba memulihkan, lalu dengan waktu bergulir luka itu pulih.”
Aku risau pada hujan yang tak kunjung reda, sebab ada aku yang masih enggan pulang memilih bertahan di bawah payung. Aku pikir, sesuatu yang tak berahir adalah luka yang tak di obati.
Aku menghela napas, melihat burung-burung bersembunyi dibalik sarangnya dan membuatku iri akan kehangatan dibalik sarangnya.
Batinku, bisakah kau pergi ketika hujan turun. Dan tak semestinya mulutku bersorak mengusirnya yang sedang berlindung di sebuah istana ternyamannya.
Aku harus berjalan kemana? ketika jalan dihadapanku terasa buntu. Aku mencoba keluar mencari sela untuk tak tersesat, sebab jika ku tersesat takut tak mampu lagi menyapamu. Tapi, jika tersesat disebuah jalan buntu adalah salah satu cara tuk memulihkan luka, aku tak perlu menyediakan ruang untuk hati yang baru. Aku masih sendiri bertahan dengan hati yang baru. Hati yang sedang belajar memulihkan.
Hati yang enggan lagi merasakan luka. Sebab, aku tak mau menyisakan hati untuk dia dengan hati yang penuh luka.

Biar waktu yang memulihkan.

Mentari di Ujung Senja




Kamu. Iya, kamu, tahukah kamu ketika pertama kali kita bertemu, semua aku anggap
biasa saja, dan mungkin aku bersikap acuh kepada wanita yang seharusnya dimuliakan. Itulah
aku, yang tak ingin terjebak oleh hati.

Kamu. Iya, kamu, tahukah kamu ketika kamu memberiku sebuah buku yang kau buat,
ku baca, ku coba mengerti, sampai aku tahu bahwa kamu adalah wanita yang mendambakan
laki-laki baik nan paham agama untuk menjadi imam kehidupanmu.

Kamu. Iya, kamu, sungguh kita mempunyai kesamaan dalam beberapa hal, cinta,
pendidikan, impian, dan rumah tangga. Kebetulan kah? mungkin, namun semua kuserahkan
kepada takdir-Nya.

Kamu. Iya, kamu, ketika percakapan yang kita bangun melului pesan udara, sedikit
membawaku lega, sebab kamu telah membawa angin agar aku tetap melanjutkan impianku,
yang juga itu adalah impian yang kamu ingini juga. Ya, penulis.

Kamu. Iya, kamu, melalui percakapan pesan kamu mulai mencurhakan banyak kisah
mengenai hidupmu, mulai dari keluarga, pekerjaan, hingga cinta. Sungguh, aku bersyukur
bisa mengenal wanita yang rela menjadi kepala rumah tangga, itulah kamu. Sungguh, aku
bersyukur mengenal wanita yang rela mengambil profesi menjaga anak demi kebaikan
keluarganya.

Namun, cinta, kamu memilih apa yang terbaik untuk kamu, seorang lelaki yang
paham agama yang juga pendakwah, sungguh mulia keinginanmu. Itulah kamu, dan tahukah
kamu, bahwa ketika engkau memutuskan hal tersebut kamu telah menjadi mentari yang
datang di penghujung senjaku. Memberi kecerahan berupa semangat yang mungkin itu hanya
sesaat, sebab cepat atau lambat kamu akan pergi bersama apa yang engkau dambakan.

Kini, aku dan kamu saling mengerti untuk apa kita saling bertukar pesan.
Tentang cinta….
Ada hati yang harus kau jaga.
Ada asa yang harus kau pertahankan.
Ada hati yang harus kau jaga.
Kelak, semoga engkau bersanding dengan dia yang memang selalu engkau sebut
namanya di akhir sujudmu.

Antara Kamu, Dia dan Detik Waktu




Rasanya berat sekali aku menghembuskan napas ini. Berat di dada terasa menyesakkan. Sekelebat bayang, kembali mengusik kedamaian hati. Rasanya hatiku berselimut resah dan gelisah, wajahku tertutup kabut hitam yang pekat, dan jantungku mungkin akan lari dan melompat. Seseorang di luar sana, telah menggeser satu dari pintu hatiku. Ia berhasil masuk dan melumpuhkan setengah dari pertahananku untuk tidak mengagumi sosok lelaki.

Namun, pada kenyataannya hati ini terlalu lemah untuk mampu bertahan. Hati tetap saja mengukir nama yang entah hatinya untuk siapa. Aku mengukirnya karena ia jauh lebih dulu dari kehadiranmu. Sebenarnya aku benci dengan hatiku yang tak mampu mengalahkan ego. Mengukirnya, Berharap, membayangkannya, tentu hanya sedekar ilusi. Hal yang terlalu indah bila menjadi nyata, dan aku tak layak mengubah hal indah itu.  


Aku pernah kecewa, aku terpukul ketika kejadian dua tahun silam. ketika kesalahan hatiku yang mengukir nama seseorang, berharap pada seseorang. Aku berusaha mengatakan...

“Aku baik-baik saja.” suaraku berusaha menguatkan diri. Jelas, pemandangan itu menjadi pukulan buatku. Kecewa pasti ada. Begitupun rasa sakit. 

Aku berusaha untuk terus menghela napas. Membekukan kembali bongkahan kesabaran yang nyaris mencair. Aku masih bertahan menumpangi hatiku yang mengukir namanya. Kupikir kejadian ini hanya mimpi, toh setiap orang bisa tertidur kapan saja dan dimana saja, permbicaraan hatiku entah melontar kemana. Namun kenyataan tak sesuai harapan. Airmataku seketika menitik.                    

Jantungku bagai diapit dua batu granit yang siap hancur setiap saat. Inikah rasanya kecewa. Menyaksikan lelaki yang ku kagumi menikahi wanita lain.

Dan kali ini aku takut hatiku melakukan kesalahan yang sama ada masa laluku. Siapa yang akan ku salahkan? Hatiku? Atau dia yang datang dalam kehidupanku?

Kalau lelaki bisa mendayung kemana pun ia mau, berhenti Di pelabuhan mana pun yang ia inginkan.

Tapi wanita hanya bisa menunggu untuk menjadi tempat berlabuh siapa yang lebih dulu sampai mendayung. Ya, mungkin itu caraku meyakinkan hatiku. Aku yang tak lain hanya seorang wanita yang menjadi tempat berlabuh. 

Sudah berulang kali aku katakan bukan?

Setiap orang pasti memiliki satu nama, meski keyakinan tak sepenuhnya ada.
Karena jika keyakinan itu ada pasti hati tidak akan siap kecewa. Ah, bukankah itu terlalu menyakitkan.

Jika ku mengartikan dirimu adalah hujan.

Aku menyukainya tapi, selalu berlindung di balik payung.
Bahkan, aku pernah memaki hujan ketika tetesnya membuat bajuku basah.
Terkadang aku rindu akan ketidak hadirannya. 
Namun, terkadang ketika aku menyesalinya karena tak kunjung reda.
Terkadang kehadirannya mendinginkan suasana. Namun, terkadang kehadirannya mencemburui hati.

Jika ku mengartikan dia adalah perahu kertas.
Perahu kertas, berjalan mengalir mengikuti arus yang lepas dari tangan pemiliknya. Terhanyut oleh arus yang mengalir. Entahlah, sampai dimana dia akan terhanyut, hingga aku yang menyentuh kertas basahnya sebelum ia berlabuh. Kertas basah yang ku sentuh, lalu ku lepas karena aku tak pantas untuk menjadi pemiliknya.

Aku inginkan kamu atau dia yang siap menjadi detik waktu. Bukan senja yang datang lalu pergi lagi, bukan hujan yang datang hanya sesaat, bukan angin yang kehadirannya tak tentu arah, bukan bintang yang hanya datang di malamku, bukan pula matahari yang hadir hanya siangku. 

Tapi, detik waktu..
yang selalu berjalan tak pernah berhenti, yang ku hitung tak ada habisnya, terus bergerak meski lambat, namun tak pernah berhenti. Ia akan berhenti ketika lelah, dan aku akan membangkitkan lelahnya hingga ia kembali untuk bergerak. 


Walau rasaku terserak ditempat yang tak terungkap. Semoga kau masih sediakan ruang untukku dihatimu.

Aku mengartikanmu seperti HUJAN...




Kita hanya sekali bertemu, itu pun hanya sebentar.
Pertemuan pertama itu menjadi awal kedekatan kamu dan aku.
Anggap saja itu kedekatan tak terungkap. bagaimana tidak, kita dekat namun tak pernah bertatap.

Aku pernah mengharapkan seseorang, tapi itu bukan kamu.
Kamu pun mungkin pernah mengharapkan seseorang, tapi jelas itu bukan aku.
Mungkin kau pun tau kita memiliki hobi yang sama, bahkan juga memiliki bakat yang sama. Dari kesamaan itulah kedekatan mulai terjalin.

Terkadang aku merasa kehilangan ketika ponselku tak menghadirkan namamu.
Meski hanya sekedar saling sapa. Namun, semua itu membuatku merasa bahwa kau benar-benar ada.
Terkadang aku mencoba memahami hatimu lewat huruf demi huruf, kata demi kata yang kau rangkai untukku. Namun, sampai saat ini aku belum bisa menemukan titik arti sebenarnya dari hadirnya dirimu.

Aku mengartikanmu seperti hujan. Aku menyukai hujan, tapi selalu berlindung di balik payung.
Bahkan, aku pernah memaki hujan ketika tetesnya membuat bajuku basah.
Terkadang aku rindu akan ketidak hadirannya, dan menunggu ketidak datangan hujan yang terlalu lama. Namun, terkadang ketika aku menyesalinya karena tak kunjung reda.
Terkadang kehadirannya mendinginkan suasana. Namun, terkadang kehadirannya mencemburui hati.

Kamu tahu ketika kamu hanya membalas singkat pesan yang ku kirim untukmu? aku merasa sedikit sakit hati. Padahal aku tidak berhak merasa sakit hati, lagipula diantara kita tidak ada ikatan. Berteman? Iya, hanya sebatas teman. Tak lebih. Emot yang kamu kirim aku mengartikannya sebagai pencair suasana pertemanan, cukup itu saja.

Aku tidak pernah mengungkapkan perasaan, apalagi membersamainya lebih jauh. Terlebih karena aku ini seorang wanita. Aku hanya menguburnya, menyimpannya dalam-dalam, hingga perasaan itu tenggelam tanpa terungkap.

Meski kita hanya sekali bertemu namun, aku lebih sering menghadirkannya dalam mimpi, aku lebih sering mencurahkannya dalam tulisan-tulisanku, dan tentu saja dalam hatiku. Apakah kau pun begitu? bertemu pun tak pernah, karena kita lebih memilih menjaga. Ku bayangkan jika kita sering bertemu, mungkin aku akan sering kehilangan kata-kata. Aku diam, terlebih kamu. Lalu, apa yang harus kita hadirkan selain diam.

Apakah aku sedemikian berharapnya?
Keluhku pada penciptaku.

Karena sebenarnya kamu yang ku harapkan


Bagaimana mungkin aku bisa terbang tinggi, sedangkan sayap satu ku adalah kamu.
Aku tak bisa membaca dan mengerti isi hatimu, sedangkan kamu tak memberiku kesempatan membuka lembar pertama kehidupanmu.
aku juga tak bisa memasuki kehidupan dan mencari celah dalam hatimu, sedangkan kamu saja tak memberi arah untuk ku melangkah ke hatimu.
Aku tak ingin mengungkapkan ini cinta untukku, karena aku percaya cinta tidak tumbuh pada lidah.
Biar ku rajut helai demi helai benang rasa yang mungkin sulit ku mengerti, hingga seribu pertanyaan menghantui benakku. Apakah kau cinta???
Jika di suatu hari nanti ku temukan senyummu dalam kisah indah yang ku impikan, aku akan mengabadikan senyum mu itu di relung hatiku.
Semoga doa ku menjadi doa mu, karena itu yang ku harapkan.

Sayembara Menulis “Sampai Kapan Aku Menunggu?”

Sayembara Menulis “Sampai Kapan Aku Menunggu?”
“Sampai Kapan Aku Menunggu?”
Jodoh itu dibentuk, lalu bagaimana membentuknya? Adalah kamu berusaha memperbaiki diri selama proses penantian; memperdalam ilmu agama tentang pernikahan; mempersiapkan mental sedini mungkin agar nanti siap melangkah ke pelaminan; dan berbagai usaha lain yang semakin membentuk dirimu menjadi pribadi yang baik sebelum kamu benar-benar siap menerima jodoh terbaik. Di saat-saat seperti itulah kamu harus menunggu.
Kamu terlanjur terjebak cinta yang salah? Pilihanmu ada dua: menyudahi cinta itu dan mulai memperbaiki diri untuk menunggu cinta yang halal ATAU menghalalkan cinta itu agar bernilai ibadah.
Yuk, bagikan kisah nyatamu bagaimana usahamu saat-saat menunggu jodoh; seperti apa bekal ilmu; kesiapan hati sebelum menerima hadirnya kekasih terbaik pilihan Allah.
SYARAT:
1. Follow instagram: @CelotehMuslim dan @WahyuQolbu; atau Like FP: Wahyu Qolbu; Twitter: @WahyuQolbu.
2. Naskah berbentuk cerita pendek berdasarkan KISAH NYATA pribadi/orang lain (sudut pandang orang pertama: Aku/Saya).
3. Ketik naskahmu dg panjang 4—6 halaman (sudah termasuk biodata) di Ms. Word (ukuran A4, Times New Roman 12 pt, spasi 1,5, & margin normal (justify); tak perlu dikasih background/foto/font warna-warni/hiasan, dsb: JUDUL NASKAH BEBAS.
4. Sertakan biodata di bawah ceritamu (CUMA nama lengkap, akun sosmed, email, alamat lengkap, & no. HP).
5. Naskah dikirim via e-mail (lampirkan file, bukan diketik di badan e-mail; tidak berpassword) ke sayembara.wahyuqolbu@gmail.com dengan subjek email (bukan nama file): SKAM_namapeserta.
6. Batas akhir pengiriman naskah 15 Oktober 2016, pukul 22.00 WIB. Pengumuman insya Allah 15 November 2016 di Grup Facebook: Penerbit Wahyu Qolbu / instagram.
7. 10 peserta dg naskah terbaik akan mendapatkan: buku terbit, pin, goodybag, dan merchandise.
8. Pertanyaan terkait sayembara bisa diajukan lewat inbox fanpage/Grup: Wahyu Qolbu / @radindra_rahman.


Salam,

@CelotehMuslim & @WahyuQolbu

Menulis adalah obat segala kegelisahan yang menyelimuti hati

Ketika Zulaikha mengejar cinta Yusuf, semakin menjauh Yusuf darinya. Namun ketika Zulaikha mengejar cinta Allah, Allah datangkan Yusuf kepadanya.